Friday, April 29, 2016

Azan, Ma

Repost!

Ini hari minggu. Mama mengajak Zahra ke pasar minggu, yaitu pasar yang hanya ada pada hari minggu saja. Tepat di sebelah pintu keluar-masuk pasar minggu itu, ada seorang laki-laki tua yang hanya punya satu tangan, sedang meminta-minta kepada pengunjung pasar. Setelah membeli beberapa kebutuhan dan jajanan sehat buat Zahra, Mama mengajak Zahra pulang. Sampai di pintu pasar, Zahra berhenti dan menoleh pada Mama.
“Ma, boleh minta uangnya? Untuk kakek tua itu?”, tanya Zahra.
“Boleh sekali, Sayang? Nih, berikan pada kakek itu, ya...?”, jawab Mama sambil menyodorkan uang kepada Zahra. Lalu mereka pulang. Di jalan, Zahra melihat seorang laki-laki yang berjalan dengan bantuan sebuah tongkat. Zahra terus memperhatikan dan seperti sedang mencari sesuatu dari orang itu.
Setiba di rumah, Zahra langsung bertanya pada Mama, “Ma, kakek yang di pasar tadi, tangannya kemana ya?”
“Wah, kita tadi tidak menanyakan itu, ya, Sayang? Mungkin Allah memang tidak memberinya tangan. Atau mungkin Allah sudah memberinya, tapi kemudian Allah mengambilnya lagi. Kira-kira yang benar yang mana, ya?”, papar Mama yang ditutup dengan pertanyaan untuk Zahra.
“Berarti, Ohm yang berjalan pakai tongkat di jalan tadi juga tidak diberi kaki oleh Allah, Ma? Atau, sudah Allah beri, tapi Allah mengambilnya lagi!”, kata Zahra. Dia tidak menjawab pertanyaan terakhir Mama. Zahra justru menyimpulkan sendiri kenapa laki-laki yang dilihatnya di jalan itu tidak punya kaki dan berjalan menggunakan tongkat.
“Ma, aku main dulu, ya...?”, ujar Zahra sebelum Mama menanggapi pernyataannya. Zahra tidak lagi menanyakan perihal dua laki-laki yang dilihatnya di pasar dan di jalan itu. Zahra seolah-olah sudah mendapat jawaban dari pertanyaannya.
“Iya, Sayang... Kembali sebelum waktu makan siang, ya...?”, jawab Mama yang tak lupa menyampaikan pesan sebelum Zahra pergi.

...
“Sudah azan, aku pulang dulu, ya...”, ucap Zahra kepada Bagas.
“Memangnya kalau azan harus pulang, ya?”, tanya Bagas.
“Ya, iya. Mama pasti sudah menunggu aku untuk sholat. Aku juga sudah lapar. Aku mau makan.”, jawab Zahra.
“Sholat??? Ngapain susah-susah sholat? Memangnya habis sholat kamu dapat apa?”, tanya Bagas sedikit ketus.
Beberapa saat, Zahra terlihat berpikir. Tapi kemudian dia pamit lagi untuk pulang.

...
“Sayang..., azan..., TV-nya matikan dulu. Sholat yuk...!”, seru Mama sembari meninggalkan dapur dan menuju musholla, yaitu ruangan kecil yang ada di salah satu sudut rumah Zahra.
“Tanggung, Ma. Bentaaar aja!”, jawab Zahra sambil dia bangkit dari duduknya dan memilih untuk meneruskan nontonnya dengan berdiri.
“Sayang..., lupa ya...?”, seru Mama lagi yang sudah berada di musholla.
“Iya, Ma...!”, jawab Zahra yang segera mematikan TV dan lari ke kamar mandi untuk berwudu.

...
“Ma, kenapa sih, kita mesti sholat?”, tanya Zahra yang sedang bersiap untuk tidur pada suatu malam. Usia Zahra memang masih 6 tahun. Kadangkala dia juga suka mogok tidak mau sholat, dengan alasan capek. Namun tidak terlalu susah juga untuk mengajaknya sholat. Dengan sedikit rayuan, Zahra pasti mau diajak sholat.
“Zahra masih ingat kan, siapa yang menciptakan kita?”, tanya Mama pelan.
“Allah, kan, Ma!”, jawab Zahra mantap.
“Trus yang memberi kita mata, mulut, telinga, hidung, tangan, dan kaki, siapa?”, tanya Mama lagi.
“Ya, Allah juga, Ma? Kalau Allah gak ngasih zahra mata, nanti zahra gak bisa melihat, dong, Ma!”, jawab Zahra.
“Nah, sholat itu sebagai bentuk syukur kita kepada Allah yang sudah memberi kita mata, mulut, tangan, kaki dan yang lain-lain juga... Coba, bagaimana kalau Allah tidak memberi tangan atau mengambil tangan Zahra?” Mama memberi penjelasan sambil menatap Zahra dengan lembut.
“Allah bisa mengambil tangan Zahra juga, Ma???”, tanya Zahra.
“Allah bisa menciptakan kita. Allah memberi apa yang kita butuhkan. Allah juga bisa mengambil semua pemberian-Nya dengan mudah, Sayang... Zahra ingat, kakek yang kita lihat di pasar tempo hari? Bukannya dia tidak punya tangan? Nah, kita yang diberi tangan sudah sepatutnya berterima kasih kepada Allah. Salah satunya dengan sholat. Karena Allah senang sekali kalau melihat Zahra sholat. ”, kata Mama sambil tetap menatap Zahra dan membelai rambutnya.
“Oh, gitu ya, Ma?”, jawab Zahra sambil menguap.
“Nah..., Zahra sudah mengantuk. Sebelum tidur, kita berdoa dulu, yuk.”

...
Sore itu, Mama mengajak Zahra menjenguk Bagas ke rumah sakit. Namun Bagas sepertinya sedang tidur, jadi Zahra tidak bisa menyapanya. Setelah Mama berbincang sebentar dengan orang tua Bagas, Mama mengajak Zahra pulang.
Sampai di rumah, Zahra bertanya kepada Mama, “Mama, kaki Bagas tadi itu diapain, Ma?”
“Diperban, Sayang... Kaki Bagas patah, setelah dia jatuh dari pohon kelengkeng di depan rumahnya. Makanya, Zahra kalau main hati-hati, ya?”, jawab Mama.
“Kasihan Bagas. Coba Bagas mau mau berterima kasih pada Allah. Pasti Allah tidak akan mengambil kakinya.”, ucap Zahra.
“Kenapa Zahra bilang begitu?”, tanya Mama.
“Iya, Ma. Bagas kan tidak pernah sholat? Berarti dia tidak bersyukur kan, Ma?”, jawab Zahra.
“Ma, azan... Ayo sholat, Ma. Zahra tidak mau Allah mengambil kaki Zahra.”, sambung Zahra sambil bergegas menuju kamar mandi untuk berwudu.

 ~~~ end ~~~
 
 
Special for: 
#OneDayOnePost

Thursday, April 28, 2016

Dari Kecil Aku Sudah Suka Jalan-jalan

Pesona Alam Pantai Pasir Putih di kabupaten Situbondo

Aku anak desa. Lahir dan besar di desa. Sanak saudara hampir semuanya di desa. Jadi kalau hari raya aku tidak perlu "repot-repot" bepergian jauh untuk menemui mereka. Saudara kandung bapak dan ibuku semuanya tinggal di kabupaten yang sama--Situbondo. Tapi aku selalu ingin bisa bepergian jauh. Sampai kadang bingung sendiri, mau kemana dan mau menemui siapa? Haha...

Sepertinya bapak dan ibuku tahu aku senang pergi-pergi. Setiap diajak pergi, aku tidak pernah menolak. Tidak dengan alasan apa pun. Kemana pun perginya, aku langsung oke. Aku juga tidak pernah rewel saat diajak pergi. Karena bisa pergi-pergi saja sudah sangat menyenangkan bagiku. Itulah kenapa bapak dan ibuku kalau mau bepergian yang terjadinya satu atau dua tahun sekali itu, senang-senang saja mengajakku.

Bapakku dulu seorang guru di sebuah madrasah. Setiap satu atau dua tahun sekali, pihak madrasah mengajak para guru berdarmawisata, alias jalan-jalan. Pertama kali pergi darmawisata, saat usiaku masih sekitar delapan tahun, tahun 1988 waktu itu. Tujuan wisata pertama kala itu adalah ziarah wali yang ada di sekitar kota Surabaya dan menyeberang sedikit ke pulau Madura.

Bapak mendaftar untuk mengikutkan empat orang yang akan berangkat, yaitu bapak, ibu, dan dua orang anak. Sebagai anak kedua, tentu saja aku masuk nominasi. Senangnya aku, seperti dapat hadiah istimewa. Kebahagiaan sangat terlihat dari wajahku sejak sebelum berangkat, begitu kata ibu. Kami mengendarai bus pariwisata yang besar. Sepanjang jalan aku benar-benar menikmatinya dengan melihat ke luar jendela. Berbeda dengan kakakku yang sepertinya terlihat biasa saja. Sepanjang perjalanan lebih banyak digunakan untuk tidur.

Sampai di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, saat itulah untuk pertama kalinya aku merasakan naik kapal feri (jembatan Suramadu belum ada waktu itu), menyeberang dari Surabaya menuju pulau Madura. Dan aku pun kembali menikmatinya. Turun dari bus dan menikmati suasana di dalam kapal. Melihat-lihat ke arah lautan biru dengan ombaknya yang tenang. Ah, aku suka sekali merasakan semua itu. Coba kalau waktu itu sudah ada sosial media, pasti aku sudah foto-foto dan membaginya di sosmed. Hihi, saking senangnya.

Perjalanan berikutnya, lebih jauh dari sebelumnya...


(bersambung)

#OneDayOnePost
#43