Thursday, April 9, 2015

Semangat Pagi Menuju Hari Yang Ceria


Hmm, hari ini saya bangun kesiangan. Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Alamat, niat saya untuk menyiapkan sarapan anak-anak pagi ini bakal batal nih! (Hehe, gak mesti tiap hari saya nyiapain sarapan buat mereka, bagi tugas sama si ayah...) Rencana sih bangun jam 4, tapi dedek yang tidur siangnya kesorean, jam 10 malam bangun. And, jam setengah dua-an baru tidur lagi. Oh, no!

Setelah selesai dengan ritual rutin pagi, saya langsung ke dapur. Pertama yang saya lakukan adalah adang alias memasak nasi.(Pake rice cooker sih!) Sambil menunggu nasi matang, dengan dibantu Zahra, saya menggarap pisang. Seperti biasa, diolah mengikuti selera anak-anak. Pisang dicelup terigu, dibalur tepung roti, lalu goreeeng. Hasilnya, disiram susu kental manis, lalu ditaburi keju parut. Selesai! Lumayan buat sarapan anak-anak. Sebagian lagi saya beri mesis buat si ayah yang suka manis. 

tampilannya biasa, tapi anak-anak suka.


Zahra yang suka sayur, minta digorengin kembang kol sekalian. Ok-lah! Kembang kol sudah siap, tinggal siapin telor kocok dan tepung berbumbu. Langsung goreeeng.

Dalam waktu bersamaan, nasi matang. Masih jam 06.20, ada cukup waktu buat nyiapin pelengkap nasi. Sementara anak-anak sudah memulai sarapannya dengan pisang bertabur keju. Saya menawarkan nasi goreng kepada mereka, yang langsung disambut dengan 2 jempol Zahra. Sudah makan pisang, mau makan nasi juga??? Biasalah, weteng jowo alias perutnya orang Jawa, kalau belum terisi nasi sama dengan belum makan. Begitu ajaran dari ayahnya (piss ayah...), yang tentu saja menular kepada anak-anak, terutama Zahra. Sementara kakaknya, seperti biasa, hanya tersenyum, dan terkadang sambil bilang, "Iya-iya..." Memang si kakak malas makan, asal perut sudah terisi sesuatu, berarti sudah makan. Pandangan yang tidak jauh berbeda dengan bundanya, hehe...

Dengan bawang prei, telor dan udang, saya siap mengubah nasi putih menjadi nasi goreng seafood. Beberapa menit kemudian, nasi goreng seafood sudah siap. Tapi jam sudah mendekati angka 7, waktunya mereka berangkat. Jadi, nasi goreng buat bekal ke sekolah saja. Kan, sudah sarapan pisang goreng? Cukuplah untuk memberi makan cacing-cacing di perut. Haha...

nasi goreng simple,
udang dibiarkan utuh karena ada yang kurang suka

Kakaknya minta agar tidak dimasukin udang dalam bekal nasgor-nya. (Dia memang tidak suka udang.) Sementara itu, Zahra menolak membawa nasi goreng, karena hari ini juga bukan waktunya membawa makanan berat. Tapi dia minta untuk membawa kembang kol gorengnya sebagai bekal. Dan nasi goreng jatahnya akan dia makan nanti sepulang sekolah. It's ok! Saya senang dan semangat pagi ini, karena mereka berdua berangkat ke sekolah dengan riang sambil membawa bekal kesukaannya masing-masing.


Thursday, March 19, 2015

Belajar "Memaafkan" kepada Rasulullah



Sebagai muslim, kita tentu sudah mengetahui apa yang terjadi pada perang Uhud. Perang kedua antara pasukan muslimin melawan kafir Quraisy yang terjadi setelah perang Badar. Allah mentakdirkan kekalahan bagi kaum muslimin, sebagai pembelajaran kepada mereka akan betapa pentingnya makna ketaatan terhadap seorang pemimpin. Bagi kafir Quraisy, perang Uhud merupakan balasan atas kekalahan mereka di perang Badar.
Perang Uhud menjadi perang yang tidak terlupakan bagi Rasulullah. Dalam perang ini, Rasulullah kehilangan paman yang amat beliau cintai. Seorang paman yang senantiasa berada di barisan terdepan untuk membela Rasulullah dari hinaan dan penindasan kaum Quraisy selama di Mekkah. Paman yang tidak sekadar melindungi Rasulullah sebagai bagian dari darah dagingnya, namun juga meng-imani apa yang dibawa oleh beliau.
Kematian paman beliau, Hamzah, bisa beliau terima sebagai konsekuensi dari suatu peperangan. Meski cara Jahsyi membunuh Hamzah bisa dianggap tidak kesatria sehingga terasa menyakitkan. Namun yang juga menyakitkan hati Rasulullah adalah apa yang dilakukan seorang wanita Quraisy terhadap jenazah sang paman. Wanita Quraisy yang bernama Hindun itu, meminta Jahsyi untuk membelah dada Hamzah dan mengambil jantungnya. Lalu Hindun memasukkan jantung itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya. Tapi kemudian dia memuntahkannya dan tidak menelannya.
Kesedihan begitu nampak pada wajah Rasulullah saat beliau mensholatkan dan melepas kepergian Hamzah untuk dimakamkan. Hingga beliau tidak memakamkan Hamzah melainkan setelah seluruh sahabat yang syahid dalam perang Uhud selesai disholatkan satu per satu bersama jenazah Hamzah. Jadi Hamzah disholatkan sebanyak sahabat yang syahid pada perang itu, termasuk Hamzah.
Hari terus berganti, dan banyak sekali perang yang Rasulullah lakukan setelah perang Badar dan perang Uhud. Telah banyak pula sahabat yang syahid dalam perang-perang berikutnya. Secara umum, kebanyakan peperangan yang terjadi setelah perang Uhud dimenangkan oleh kaum muslimin. Hingga tibalah kemenangan akbar yang dikenal dengan Fathu Mekkah atau penaklukan kota Mekkah. Dimana ribuan kaum muslimin bersama Rasulullah memasuki kota Mekkah tanpa ada perlawanan sedikit pun dari kaum Quraisy. Bahkan sebagian besar kaum Quraisy memilih untuk masuk islam, kecuali beberapa orang saja dari mereka yang mencoba melarikan diri.
Hindun dan Jahsyi termasuk orang-orang yang masih hidup saat penaklukan itu terjadi. Baik Hindun maupun Jahsyi juga sama-sama memilih untuk bersyahadat, dan menjadi bagian dari kaum muslimin. Namun saat Hindun akan bertemu dengan Rasulullah, secara halus Rasulullah menolak untuk bertemu muka dengannya. Begitu juga untuk bertemu dengan Jahsyi. Apakah karena Rasulullah tidak memaafkan apa yang diperbuat Hindun dan Jahsyi terhadap paman beliau? Tentu saja bukan itu alasannya. Rasulullah telah menyampaikan secara langsung kepada Hindun maupun Jahsyi dengan santun, meski tanpa melihat mereka, bahwa beliau telah memaafkan mereka berdua. Akan tetapi Rasulullah meminta kepada Hindun dan Jahsyi untuk tidak menampakkan diri di hadapan beliau. Karena dengan melihat wajah mereka, beliau menjadi teringat dengan kejadian yang menimpa paman beliau pada perang Uhud.
Terkait dengan hal ini, Rasulullah berdoa dan memohon ampun kepada Allah atas kelemahan beliau sebagai manusia. Dan sekali lagi Rasulullah menegaskan kepada Allah bahwa apa yang dilakukan beliau bukan karena beliau tidak memaafkan mereka. Namun Rasulullah tidak kuasa untuk mengingat kembali kenangan pahit dan kepedihan yang beliau rasakan saat kehilangan orang yang dicintainya.
Adapun Hindun dan Jahsyi, mereka berdua dengan lapang dada bisa menerima perlakuan Rasulullah. Mereka menyadari bahwa perbuatannya dulu telah menyakiti hati Rasulullah, dan mereka juga bisa memahami apa yang dirasakan Rasulullah. Hal itu dibuktikan dengan kesungguhan Hindun dan Jahsyi dalam memegang islam sebagai akidah yang mereka yakini, dan tidak menjadikan perlakuan Rasulullah sebagai alasan mereka untuk menolak aqidah yang hanif.
Banyak hikmah yang bisa kita ambil dari rangkaian peristiwa ini. Terutama saat kita atau saudara kita berbuat kesalahan. Masih sangat banyak dari umat ini yang sulit memberi maaf kepada saudaranya. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan tidak akan memaafkan kesalahan saudaranya dan akan menuntutnya di akhirat kelak. Begitu angkuhnya manusia, hingga merasa ketentuan akhirat ada di tangannya. Apa memang sebegitu besar kesalahan saudara kita hingga kita enggan memaafkannya?
Memaafkan merupakan hal utama yang bisa dilakukan seorang muslim kepada saudaranya yang berbuat kesalahan. Jika memang dirasa begitu berat kesalahan yang diperbuat oleh saudara kita, jadikanlah pemaafan Rasulullah ini sebagai pelajaran dalam memberi maaf. Berilah maaf kepada saudara kita dengan bahasa yang santun dan tanpa emosi. Mintalah kepada saudara kita untuk tidak menampakkan diri di hadapan kita sementara waktu, bila kita memang menginginkannya. Dan sampaikanlah alasan kita melakukan hal tersebut kepadanya, meski hanya sekadar dikarenakan kita belum bisa melupakan kesalahan-kesalahannya.
Begitu pula sebaliknya. Jika kita yang berbuat salah, yang mungkin melampaui batas dan menyakiti hati saudara kita, sehingga mereka enggan untuk bertemu dengan kita, maka terimalah keengganan mereka. Terimalah keengganan itu dengan penuh keikhlasan sebagai bentuk penebusan atas kesalahan-kesalahan kita terhadap mereka. Hargailah sikap saudara kita, terlebih bila mereka sudah memaafkan dan menyampaikan alasan keengganannya bertemu kita.
Wallahu a'lam.