Sebagai muslim, kita tentu sudah
mengetahui apa yang terjadi pada perang Uhud. Perang kedua antara pasukan
muslimin melawan kafir Quraisy yang terjadi setelah perang Badar. Allah
mentakdirkan kekalahan bagi kaum muslimin, sebagai pembelajaran kepada mereka
akan betapa pentingnya makna ketaatan terhadap seorang pemimpin. Bagi kafir
Quraisy, perang Uhud merupakan balasan atas kekalahan mereka di perang Badar.
Perang Uhud menjadi perang yang tidak
terlupakan bagi Rasulullah. Dalam perang ini, Rasulullah kehilangan paman yang
amat beliau cintai. Seorang paman yang senantiasa berada di barisan terdepan
untuk membela Rasulullah dari hinaan dan penindasan kaum Quraisy selama di
Mekkah. Paman yang tidak sekadar melindungi Rasulullah sebagai bagian dari
darah dagingnya, namun juga meng-imani apa yang dibawa oleh beliau.
Kematian paman beliau, Hamzah, bisa
beliau terima sebagai konsekuensi dari suatu peperangan. Meski cara Jahsyi membunuh
Hamzah bisa dianggap tidak kesatria sehingga terasa menyakitkan. Namun yang juga
menyakitkan hati Rasulullah adalah apa yang dilakukan seorang wanita Quraisy
terhadap jenazah sang paman. Wanita Quraisy yang bernama Hindun itu, meminta Jahsyi
untuk membelah dada Hamzah dan mengambil jantungnya. Lalu Hindun memasukkan
jantung itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya. Tapi kemudian dia
memuntahkannya dan tidak menelannya.
Kesedihan begitu nampak pada wajah Rasulullah
saat beliau mensholatkan dan melepas kepergian Hamzah untuk dimakamkan. Hingga
beliau tidak memakamkan Hamzah melainkan setelah seluruh sahabat yang syahid
dalam perang Uhud selesai disholatkan satu per satu bersama jenazah Hamzah.
Jadi Hamzah disholatkan sebanyak sahabat yang syahid pada perang itu, termasuk
Hamzah.
Hari terus berganti, dan banyak sekali
perang yang Rasulullah lakukan setelah perang Badar dan perang Uhud. Telah
banyak pula sahabat yang syahid dalam perang-perang berikutnya. Secara umum,
kebanyakan peperangan yang terjadi setelah perang Uhud dimenangkan oleh kaum
muslimin. Hingga tibalah kemenangan akbar yang dikenal dengan Fathu Mekkah atau
penaklukan kota Mekkah. Dimana ribuan kaum muslimin bersama Rasulullah memasuki
kota Mekkah tanpa ada perlawanan sedikit pun dari kaum Quraisy. Bahkan sebagian
besar kaum Quraisy memilih untuk masuk islam, kecuali beberapa orang saja dari
mereka yang mencoba melarikan diri.
Hindun dan Jahsyi termasuk orang-orang
yang masih hidup saat penaklukan itu terjadi. Baik Hindun maupun Jahsyi juga sama-sama
memilih untuk bersyahadat, dan menjadi bagian dari kaum muslimin. Namun saat Hindun
akan bertemu dengan Rasulullah, secara halus Rasulullah menolak untuk bertemu
muka dengannya. Begitu juga untuk bertemu dengan Jahsyi. Apakah karena Rasulullah
tidak memaafkan apa yang diperbuat Hindun dan Jahsyi terhadap paman beliau?
Tentu saja bukan itu alasannya. Rasulullah telah menyampaikan secara langsung kepada
Hindun maupun Jahsyi dengan santun, meski tanpa melihat mereka, bahwa beliau
telah memaafkan mereka berdua. Akan tetapi Rasulullah meminta kepada Hindun dan
Jahsyi untuk tidak menampakkan diri di hadapan beliau. Karena dengan melihat
wajah mereka, beliau menjadi teringat dengan kejadian yang menimpa paman beliau
pada perang Uhud.
Terkait dengan hal ini, Rasulullah
berdoa dan memohon ampun kepada Allah atas kelemahan beliau sebagai manusia.
Dan sekali lagi Rasulullah menegaskan kepada Allah bahwa apa yang dilakukan
beliau bukan karena beliau tidak memaafkan mereka. Namun Rasulullah tidak kuasa
untuk mengingat kembali kenangan pahit dan kepedihan yang beliau rasakan saat
kehilangan orang yang dicintainya.
Adapun Hindun dan Jahsyi, mereka berdua
dengan lapang dada bisa menerima perlakuan Rasulullah. Mereka menyadari bahwa
perbuatannya dulu telah menyakiti hati Rasulullah, dan mereka juga bisa memahami
apa yang dirasakan Rasulullah. Hal itu dibuktikan dengan kesungguhan Hindun dan
Jahsyi dalam memegang islam sebagai akidah yang mereka yakini, dan tidak
menjadikan perlakuan Rasulullah sebagai alasan mereka untuk menolak aqidah yang
hanif.
Banyak hikmah yang bisa kita ambil dari
rangkaian peristiwa ini. Terutama saat kita atau saudara kita berbuat
kesalahan. Masih sangat banyak dari umat ini yang sulit memberi maaf kepada
saudaranya. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan tidak akan memaafkan
kesalahan saudaranya dan akan menuntutnya di akhirat kelak. Begitu angkuhnya
manusia, hingga merasa ketentuan akhirat ada di tangannya. Apa memang sebegitu
besar kesalahan saudara kita hingga kita enggan memaafkannya?
Memaafkan merupakan hal utama yang bisa dilakukan
seorang muslim kepada saudaranya yang berbuat kesalahan. Jika memang dirasa
begitu berat kesalahan yang diperbuat oleh saudara kita, jadikanlah pemaafan Rasulullah
ini sebagai pelajaran dalam memberi maaf. Berilah maaf kepada saudara kita
dengan bahasa yang santun dan tanpa emosi. Mintalah kepada saudara kita untuk
tidak menampakkan diri di hadapan kita sementara waktu, bila kita memang menginginkannya.
Dan sampaikanlah alasan kita melakukan hal tersebut kepadanya, meski hanya
sekadar dikarenakan kita belum bisa melupakan kesalahan-kesalahannya.
Begitu pula sebaliknya. Jika kita yang
berbuat salah, yang mungkin melampaui batas dan menyakiti hati saudara kita,
sehingga mereka enggan untuk bertemu dengan kita, maka terimalah keengganan
mereka. Terimalah keengganan itu dengan penuh keikhlasan sebagai bentuk penebusan atas kesalahan-kesalahan
kita terhadap mereka. Hargailah sikap saudara kita, terlebih bila mereka sudah memaafkan dan menyampaikan alasan
keengganannya bertemu kita.
Wallahu a'lam.
No comments:
Post a Comment