Thursday, March 19, 2015

Belajar "Memaafkan" kepada Rasulullah



Sebagai muslim, kita tentu sudah mengetahui apa yang terjadi pada perang Uhud. Perang kedua antara pasukan muslimin melawan kafir Quraisy yang terjadi setelah perang Badar. Allah mentakdirkan kekalahan bagi kaum muslimin, sebagai pembelajaran kepada mereka akan betapa pentingnya makna ketaatan terhadap seorang pemimpin. Bagi kafir Quraisy, perang Uhud merupakan balasan atas kekalahan mereka di perang Badar.
Perang Uhud menjadi perang yang tidak terlupakan bagi Rasulullah. Dalam perang ini, Rasulullah kehilangan paman yang amat beliau cintai. Seorang paman yang senantiasa berada di barisan terdepan untuk membela Rasulullah dari hinaan dan penindasan kaum Quraisy selama di Mekkah. Paman yang tidak sekadar melindungi Rasulullah sebagai bagian dari darah dagingnya, namun juga meng-imani apa yang dibawa oleh beliau.
Kematian paman beliau, Hamzah, bisa beliau terima sebagai konsekuensi dari suatu peperangan. Meski cara Jahsyi membunuh Hamzah bisa dianggap tidak kesatria sehingga terasa menyakitkan. Namun yang juga menyakitkan hati Rasulullah adalah apa yang dilakukan seorang wanita Quraisy terhadap jenazah sang paman. Wanita Quraisy yang bernama Hindun itu, meminta Jahsyi untuk membelah dada Hamzah dan mengambil jantungnya. Lalu Hindun memasukkan jantung itu ke dalam mulutnya dan mengunyahnya. Tapi kemudian dia memuntahkannya dan tidak menelannya.
Kesedihan begitu nampak pada wajah Rasulullah saat beliau mensholatkan dan melepas kepergian Hamzah untuk dimakamkan. Hingga beliau tidak memakamkan Hamzah melainkan setelah seluruh sahabat yang syahid dalam perang Uhud selesai disholatkan satu per satu bersama jenazah Hamzah. Jadi Hamzah disholatkan sebanyak sahabat yang syahid pada perang itu, termasuk Hamzah.
Hari terus berganti, dan banyak sekali perang yang Rasulullah lakukan setelah perang Badar dan perang Uhud. Telah banyak pula sahabat yang syahid dalam perang-perang berikutnya. Secara umum, kebanyakan peperangan yang terjadi setelah perang Uhud dimenangkan oleh kaum muslimin. Hingga tibalah kemenangan akbar yang dikenal dengan Fathu Mekkah atau penaklukan kota Mekkah. Dimana ribuan kaum muslimin bersama Rasulullah memasuki kota Mekkah tanpa ada perlawanan sedikit pun dari kaum Quraisy. Bahkan sebagian besar kaum Quraisy memilih untuk masuk islam, kecuali beberapa orang saja dari mereka yang mencoba melarikan diri.
Hindun dan Jahsyi termasuk orang-orang yang masih hidup saat penaklukan itu terjadi. Baik Hindun maupun Jahsyi juga sama-sama memilih untuk bersyahadat, dan menjadi bagian dari kaum muslimin. Namun saat Hindun akan bertemu dengan Rasulullah, secara halus Rasulullah menolak untuk bertemu muka dengannya. Begitu juga untuk bertemu dengan Jahsyi. Apakah karena Rasulullah tidak memaafkan apa yang diperbuat Hindun dan Jahsyi terhadap paman beliau? Tentu saja bukan itu alasannya. Rasulullah telah menyampaikan secara langsung kepada Hindun maupun Jahsyi dengan santun, meski tanpa melihat mereka, bahwa beliau telah memaafkan mereka berdua. Akan tetapi Rasulullah meminta kepada Hindun dan Jahsyi untuk tidak menampakkan diri di hadapan beliau. Karena dengan melihat wajah mereka, beliau menjadi teringat dengan kejadian yang menimpa paman beliau pada perang Uhud.
Terkait dengan hal ini, Rasulullah berdoa dan memohon ampun kepada Allah atas kelemahan beliau sebagai manusia. Dan sekali lagi Rasulullah menegaskan kepada Allah bahwa apa yang dilakukan beliau bukan karena beliau tidak memaafkan mereka. Namun Rasulullah tidak kuasa untuk mengingat kembali kenangan pahit dan kepedihan yang beliau rasakan saat kehilangan orang yang dicintainya.
Adapun Hindun dan Jahsyi, mereka berdua dengan lapang dada bisa menerima perlakuan Rasulullah. Mereka menyadari bahwa perbuatannya dulu telah menyakiti hati Rasulullah, dan mereka juga bisa memahami apa yang dirasakan Rasulullah. Hal itu dibuktikan dengan kesungguhan Hindun dan Jahsyi dalam memegang islam sebagai akidah yang mereka yakini, dan tidak menjadikan perlakuan Rasulullah sebagai alasan mereka untuk menolak aqidah yang hanif.
Banyak hikmah yang bisa kita ambil dari rangkaian peristiwa ini. Terutama saat kita atau saudara kita berbuat kesalahan. Masih sangat banyak dari umat ini yang sulit memberi maaf kepada saudaranya. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan tidak akan memaafkan kesalahan saudaranya dan akan menuntutnya di akhirat kelak. Begitu angkuhnya manusia, hingga merasa ketentuan akhirat ada di tangannya. Apa memang sebegitu besar kesalahan saudara kita hingga kita enggan memaafkannya?
Memaafkan merupakan hal utama yang bisa dilakukan seorang muslim kepada saudaranya yang berbuat kesalahan. Jika memang dirasa begitu berat kesalahan yang diperbuat oleh saudara kita, jadikanlah pemaafan Rasulullah ini sebagai pelajaran dalam memberi maaf. Berilah maaf kepada saudara kita dengan bahasa yang santun dan tanpa emosi. Mintalah kepada saudara kita untuk tidak menampakkan diri di hadapan kita sementara waktu, bila kita memang menginginkannya. Dan sampaikanlah alasan kita melakukan hal tersebut kepadanya, meski hanya sekadar dikarenakan kita belum bisa melupakan kesalahan-kesalahannya.
Begitu pula sebaliknya. Jika kita yang berbuat salah, yang mungkin melampaui batas dan menyakiti hati saudara kita, sehingga mereka enggan untuk bertemu dengan kita, maka terimalah keengganan mereka. Terimalah keengganan itu dengan penuh keikhlasan sebagai bentuk penebusan atas kesalahan-kesalahan kita terhadap mereka. Hargailah sikap saudara kita, terlebih bila mereka sudah memaafkan dan menyampaikan alasan keengganannya bertemu kita.
Wallahu a'lam.



No comments:

Post a Comment