Tuesday, August 12, 2014

Menjemput Rizki, Tanpa Mengabaikan Keberkahan


Oleh-oleh Liburan #1

        Ini adalah puasa pertama kami di kota Tangerang Selatan, karena belum genap setahun kami tinggal di kota ini. Jauh dari kampung halaman keluarga besar suami yang tinggal di Malang, apalagi keluarga besar saya yang tinggal di Situbondo. Kami harus melalui beberapa hari awal puasa di sini, karena suami masih harus ngantor hingga 4 atau 5 hari sebelum hari raya. Namun sejak jauh-jauh hari, suami sudah merencanakan untuk ijin lebih awal, yaitu 9 hari sebelum hari raya. Jadi, kami bisa mudik lebih awal.
Perjalanan mudik kami cukup lancar, mungkin karena jaraknya yang cukup jauh dengan hari raya. Secara umum kami juga tidak bertemu dengan kemacetan, seperti yang biasa kami lihat di televisi saat suasana mudik. Hanya ada satu tempat yang cukup berkesan dan terasa sedikit melelahkan saat kami melewatinya. Di mana lagi kalau bukan di daerah sekitar jembatan Comal yang berita amblasnya jembatan itu memang sudah terdengar bahkan jauh sebelum kami berangkat mudik ke kota Malang.
       Mendengar berita tersebut, kami sudah menyiapkan beberapa alternatif jalur yang akan kami lalui saat mudik. Salah satu media yang kami gunakan untuk membantu mencari jalan terdekat adalah dengan bantuan GPS yang ada di tablet Advan, yang umurnya belum genap setahun kami miliki. Sejak tablet itu ada dalam genggaman, kami banyak terbantu untuk menghindari salah jalan dan tersesat. (#hehe..., promosi nih!) Jadi, sebelum berangkat kami sudah mengaktifkan GPS dan memasukkan kota Malang sebagai kota tujuan kami. Melihat jalur yang disarankan untuk dilalui, timbul pertanyaan, kenapa masih melalui jalur utara, yang artinya tetap melewati daerah Comal? Tapi, ah, jalan terus saja dulu. Kalau memang jalur pantura ditutup, kan tinggal ambil jalur selatan via Purwokerto.
       Tiba di simpang Pejagan, setelah melewati tol Kanci, jalur yang ke arah Purwokerto malah ditutup oleh petugas lalulintas. Padahal peringatan amblasnya jembatan Comal banyak terpampang di sepanjang jalan Tol Cikampek. Kami sempat ragu, jalur mana yang harus kami pilih. Tapi karena yang ke arah selatan ditutup total, ya kami harus belok kiri, melalui jalur pantura yang memang biasa kami lewati.
Sampai di Tegal, pengendara dibelokkan dari jalur yang seharusnya, mengambil arah ke Purwokerto. Namun hanya kendaraan besar dan berat, seperti truk dan bus. Sementara kendaraan kecil tetap melanjutkan ke arah Comal. Beberapa meter sebelum jembatan Comal yang amblas, arus lalulintas dibelokkan melalui jalan kampung. Pastinya memutar untuk melewati jembatan lain sehingga bisa menyeberangi sungai, lalu kembali ke jalur utama lagi. Berdasarkan peta yang saya lihat dan arahan GPS, memutarnya tidak terlalu jauh. Karena beberapa kilometer saja dari jalan utama, ada jembatan lain yang melintasi sungai yang sama. Akan tetapi, dari sinilah petualangan kami dan para pengendara lainnya dimulai.

gambar suasana saat memasuki perkampungan di kecamatan Comal 
       Di sebuah persimpangan, seharusnya kami berjalan lurus, kerena jembatan hanya beberapa ratus meter saja di depan kami. Namun di persimpangan itu terlihat beberapa orang, bukan petugas lalulintas, yang menghalau laju kendaraan kami dan menyuruh kami belok kanan. Kami sempat berpikir, mungkin nanti dibelokkan lagi di depan, sehingga bisa kembali ke jalan yang berada tepat sebelum jembatan. Ternyata dugaan kami keliru, kami diarahkan menuju jembatan lain yang jaraknya sangat jauh. Kami harus menempuh jalan kampung yang relatif kecil, sehingga saat berpapasan dengan mobil lain, salah satunya harus ada yang berhenti dulu, untuk menghindari terjadinya serempetan. Kami bisa melihat jauhnya jarak yang harus ditempuh dari peta GPS di tangan kami. Tapi, tetap saja itu adalah jarak yang cukup jauh yang harus kami lalui hanya dengan kecepatan mobil rata-rata 20 – 30 km/jam.
       Sampai di ujung terjauh, yang merupakan titik balik untuk bisa mencapai jembatan yang dimaksudkan, kami sempat berhenti. Iseng-iseng suami saya turun dan ngobrol dengan petugas. Dia menanyakan, berapa kilometer lagi jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke jalur utama, sembari sedikit mengeluhkan jauhnya jarak tersebut. Di luar dugaan, sang petugas menyatakan rasa kasihannya kepada pemudik yang harus menempuh jarak yang sangat jauh, akibat warga menutup jembatan terdekat yang seharusnya bisa dilalui.
       Apa yang disampaikan petugas lalulintas, persis seperti dugaan saya. Banyaknya warga yang berjualan di sepanjang jalan kampung yang kami lalui, membuat saya berpikir bahwa warga di sana sengaja menutup jalan yang mestinya bisa dilalui agar jarak yang kami tempuh semakin jauh. Kalau jaraknya jauh, tentunya akan melelahkan sehingga kami butuh beberapa saat untuk istirahat. Nah, saat itulah dagangan warga sangat mungkin akan dibeli oleh pemudik yang lewat. Atau setidaknya cuaca panas akan membuat kami haus, sehingga mau tidak mau kami harus membeli minuman atau makanan dari mereka yang harganya jelas lebih tinggi dari harga pasar. Dari debat kecil dengan suami, saya sempat protes dengan tindakan mereka. Namun suami saya mengatakan bahwa mungkin itu adalah cara Allah memberi rizki pada orang-orang itu.
       Secara materi, mungkin mereka (warga) bisa memperoleh keuntungan besar dari amblasnya jembatan Comal dan pengalihan lalulintas yang harus melalui desa mereka. Tapi, pernahkah mereka berpikir akan keberkahan yang bisa mereka peroleh dengan memberi kemudahan bagi orang lain (pemudik) untuk melalui jalan yang semestinya, sehingga pemudik tidak perlu memutar terlalu jauh? Apalah artinya segenggam materi yang bisa kita raih, jika harus diperoleh dengan jalan menyusahkan orang lain? Sudah sebegitu asingkah nilai keberkahan bagi manusia? Sudah begitu sulitkah manusia menjemput rizkinya, sampai harus mengabaikan keberkahan? Sehingga seolah-olah menjadi tidak penting, berkah atau tidak, asal bisa meraup keuntungan yang besar.
       Tapi..., astaghfirullah! Apa yang saya pikirkan? Kenapa saya harus berpikir negatif tentang mereka? Segera saya buang jauh-jauh pikiran itu. Apalagi saat itu masih suasana puasa. Alhamdulillah kami semua juga masih puasa. Sehingga cuaca sepanas apa pun, jarak sejauh apa pun, selama belum waktunya berbuka, kami kan tetap tidak mungkin membeli makanan dan minuman yang dijual warga. Walaupun jauhnya jarak yang harus kami tempuh memang terasa sangat melelahkan bagi kami. Tapi selalu ada hikmah dibalik suatu kejadian. Selama melewati jalan-jalan di kampung itu, kami bisa melihat pemandangan yang jarang bisa kami lihat. Beragam jenis tanaman menjadi objek perbincangan kami.
       “Ada pohon gundul di antara tanaman gandul”, ujar saya saat melihat bagian sisi kiri jalan.
       “Maksudnya?” seru dua anak saya yang besar, hampir bersamaan.
       Saya dan suami langsung tertawa melihat mimik mereka yang penuh tanda tanya dan rasa penasaran, lalu saya jelaskan kepada mereka maksud ucapan saya.
       “Itu, loh...! Ada banyak pohon lamtoro yang cabangnya dibabat habis, jadinya kan pohonnya gundul. Sementara di sela-sela pohon gundul itu ada tanaman pepaya, atau disebut juga dengan tanaman gandul...”.
       Kembali bersamaan, mereka berkata, “Ooo...!”


gambar "penampakan" pohon gundul di antara tanaman gandul


       Ya, menikmati pemandangan sepanjang jalan menjadi satu-satunya hal yang bisa kami nikmati. Saat sore mulai menjelang, kami juga bisa menyaksikan matahari yang perlahan mulai tenggelam. Perjalanan memutar karena amblasnya jembatan Comal, menjadi hal yang berkesan dalam mudik panjang pertama kami, dari kota Tangerang Selatan menuju kota Malang. 


gambar suasana salah satu sisi jalan saat waktu menjelang sore

No comments:

Post a Comment