Oleh-oleh Liburan #1
Ini
adalah puasa pertama kami di kota Tangerang Selatan, karena belum genap setahun
kami tinggal di kota ini. Jauh dari kampung halaman keluarga besar suami yang
tinggal di Malang, apalagi keluarga besar saya yang tinggal di Situbondo. Kami
harus melalui beberapa hari awal puasa di sini, karena suami masih harus ngantor hingga 4 atau 5 hari sebelum
hari raya. Namun sejak jauh-jauh hari, suami sudah merencanakan untuk ijin
lebih awal, yaitu 9 hari sebelum hari raya. Jadi, kami bisa mudik lebih awal.
Perjalanan
mudik kami cukup lancar, mungkin karena jaraknya yang cukup jauh dengan hari
raya. Secara umum kami juga tidak bertemu dengan kemacetan, seperti yang biasa
kami lihat di televisi saat suasana mudik. Hanya ada satu tempat yang cukup
berkesan dan terasa sedikit melelahkan saat kami melewatinya. Di mana lagi
kalau bukan di daerah sekitar jembatan Comal yang berita amblasnya jembatan itu memang sudah
terdengar bahkan jauh sebelum kami berangkat mudik ke kota Malang.
Mendengar
berita tersebut, kami sudah menyiapkan beberapa alternatif jalur yang akan kami
lalui saat mudik. Salah satu media yang kami gunakan untuk membantu mencari
jalan terdekat adalah dengan bantuan GPS yang ada di tablet Advan, yang umurnya
belum genap setahun kami miliki. Sejak tablet itu ada dalam genggaman, kami banyak
terbantu untuk menghindari salah jalan dan tersesat. (#hehe..., promosi nih!)
Jadi, sebelum berangkat kami sudah mengaktifkan GPS dan memasukkan kota Malang
sebagai kota tujuan kami. Melihat jalur yang disarankan untuk dilalui, timbul
pertanyaan, kenapa masih melalui jalur utara, yang artinya tetap melewati
daerah Comal? Tapi, ah, jalan terus saja dulu. Kalau memang jalur pantura
ditutup, kan tinggal ambil jalur selatan via Purwokerto.
Tiba
di simpang Pejagan, setelah melewati tol Kanci, jalur yang ke arah Purwokerto
malah ditutup oleh petugas lalulintas. Padahal peringatan amblasnya jembatan
Comal banyak terpampang di sepanjang jalan Tol Cikampek. Kami sempat ragu,
jalur mana yang harus kami pilih. Tapi karena yang ke arah selatan ditutup
total, ya kami harus belok kiri, melalui jalur pantura yang memang biasa kami
lewati.
Sampai
di Tegal, pengendara dibelokkan dari jalur yang seharusnya, mengambil arah ke
Purwokerto. Namun hanya kendaraan besar dan berat, seperti truk dan bus.
Sementara kendaraan kecil tetap melanjutkan ke arah Comal. Beberapa meter sebelum
jembatan Comal yang amblas, arus lalulintas dibelokkan melalui jalan kampung.
Pastinya memutar untuk melewati jembatan lain sehingga bisa menyeberangi
sungai, lalu kembali ke jalur utama lagi. Berdasarkan peta yang saya lihat dan
arahan GPS, memutarnya tidak terlalu jauh. Karena beberapa kilometer saja dari
jalan utama, ada jembatan lain yang melintasi sungai yang sama. Akan tetapi,
dari sinilah petualangan kami dan para pengendara lainnya dimulai.
gambar suasana saat memasuki perkampungan di kecamatan Comal
Di
sebuah persimpangan, seharusnya kami berjalan lurus, kerena jembatan hanya
beberapa ratus meter saja di depan kami. Namun di persimpangan itu terlihat
beberapa orang, bukan petugas lalulintas, yang menghalau laju kendaraan kami
dan menyuruh kami belok kanan. Kami sempat berpikir, mungkin nanti dibelokkan lagi
di depan, sehingga bisa kembali ke jalan yang berada tepat sebelum jembatan.
Ternyata dugaan kami keliru, kami diarahkan menuju jembatan lain yang jaraknya
sangat jauh. Kami harus menempuh jalan kampung yang relatif kecil, sehingga
saat berpapasan dengan mobil lain, salah satunya harus ada yang berhenti dulu,
untuk menghindari terjadinya serempetan.
Kami bisa melihat jauhnya jarak yang harus ditempuh dari peta GPS di tangan
kami. Tapi, tetap saja itu adalah jarak yang cukup jauh yang harus kami lalui
hanya dengan kecepatan mobil rata-rata 20 – 30 km/jam.
Sampai
di ujung terjauh, yang merupakan titik balik untuk bisa mencapai jembatan yang
dimaksudkan, kami sempat berhenti. Iseng-iseng suami saya turun dan ngobrol
dengan petugas. Dia menanyakan, berapa kilometer lagi jarak yang harus ditempuh
untuk sampai ke jalur utama, sembari sedikit mengeluhkan jauhnya jarak
tersebut. Di luar dugaan, sang petugas menyatakan rasa kasihannya kepada
pemudik yang harus menempuh jarak yang sangat jauh, akibat warga menutup jembatan
terdekat yang seharusnya bisa dilalui.
Apa
yang disampaikan petugas lalulintas, persis seperti dugaan saya. Banyaknya
warga yang berjualan di sepanjang jalan kampung yang kami lalui, membuat saya
berpikir bahwa warga di sana sengaja menutup jalan yang mestinya bisa dilalui
agar jarak yang kami tempuh semakin jauh. Kalau jaraknya jauh, tentunya akan
melelahkan sehingga kami butuh beberapa saat untuk istirahat. Nah, saat itulah
dagangan warga sangat mungkin akan dibeli oleh pemudik yang lewat. Atau setidaknya
cuaca panas akan membuat kami haus, sehingga mau tidak mau kami harus membeli
minuman atau makanan dari mereka yang harganya jelas lebih tinggi dari harga
pasar. Dari debat kecil dengan suami, saya sempat protes dengan tindakan
mereka. Namun suami saya mengatakan bahwa mungkin itu adalah cara Allah memberi
rizki pada orang-orang itu.
Secara
materi, mungkin mereka (warga) bisa memperoleh keuntungan besar dari amblasnya
jembatan Comal dan pengalihan lalulintas yang harus melalui desa mereka. Tapi,
pernahkah mereka berpikir akan keberkahan yang bisa mereka peroleh dengan
memberi kemudahan bagi orang lain (pemudik) untuk melalui jalan yang
semestinya, sehingga pemudik tidak perlu memutar terlalu jauh? Apalah artinya
segenggam materi yang bisa kita raih, jika harus diperoleh dengan jalan
menyusahkan orang lain? Sudah sebegitu asingkah nilai keberkahan bagi manusia? Sudah begitu sulitkah manusia menjemput rizkinya, sampai harus mengabaikan keberkahan? Sehingga
seolah-olah menjadi tidak penting, berkah atau tidak, asal bisa meraup
keuntungan yang besar.
Tapi...,
astaghfirullah! Apa yang saya
pikirkan? Kenapa saya harus berpikir negatif tentang mereka? Segera saya buang
jauh-jauh pikiran itu. Apalagi saat itu masih suasana puasa. Alhamdulillah kami
semua juga masih puasa. Sehingga cuaca sepanas apa pun, jarak sejauh apa pun,
selama belum waktunya berbuka, kami kan tetap tidak mungkin membeli makanan dan
minuman yang dijual warga. Walaupun jauhnya jarak yang harus kami tempuh memang
terasa sangat melelahkan bagi kami. Tapi selalu ada hikmah dibalik suatu
kejadian. Selama melewati jalan-jalan di kampung itu, kami bisa melihat
pemandangan yang jarang bisa kami lihat. Beragam jenis tanaman menjadi objek perbincangan
kami.
“Ada
pohon gundul di antara tanaman gandul”,
ujar saya saat melihat bagian sisi kiri jalan.
“Maksudnya?”
seru dua anak saya yang besar, hampir bersamaan.
Saya
dan suami langsung tertawa melihat mimik mereka yang penuh tanda tanya dan rasa
penasaran, lalu saya jelaskan kepada mereka maksud ucapan saya.
“Itu,
loh...! Ada banyak pohon lamtoro yang cabangnya dibabat habis, jadinya kan
pohonnya gundul. Sementara di sela-sela pohon gundul itu ada tanaman pepaya, atau
disebut juga dengan tanaman gandul...”.
Kembali
bersamaan, mereka berkata, “Ooo...!”
gambar "penampakan" pohon gundul di antara tanaman gandul
Ya,
menikmati pemandangan sepanjang jalan menjadi satu-satunya hal yang bisa kami
nikmati. Saat sore mulai menjelang, kami juga bisa menyaksikan matahari yang
perlahan mulai tenggelam. Perjalanan memutar karena amblasnya jembatan Comal,
menjadi hal yang berkesan dalam mudik panjang pertama kami, dari kota Tangerang
Selatan menuju kota Malang.
gambar suasana salah satu sisi jalan saat waktu menjelang sore
No comments:
Post a Comment