Showing posts with label My Story. Show all posts
Showing posts with label My Story. Show all posts

Tuesday, August 12, 2014

Menjemput Rizki, Tanpa Mengabaikan Keberkahan


Oleh-oleh Liburan #1

        Ini adalah puasa pertama kami di kota Tangerang Selatan, karena belum genap setahun kami tinggal di kota ini. Jauh dari kampung halaman keluarga besar suami yang tinggal di Malang, apalagi keluarga besar saya yang tinggal di Situbondo. Kami harus melalui beberapa hari awal puasa di sini, karena suami masih harus ngantor hingga 4 atau 5 hari sebelum hari raya. Namun sejak jauh-jauh hari, suami sudah merencanakan untuk ijin lebih awal, yaitu 9 hari sebelum hari raya. Jadi, kami bisa mudik lebih awal.
Perjalanan mudik kami cukup lancar, mungkin karena jaraknya yang cukup jauh dengan hari raya. Secara umum kami juga tidak bertemu dengan kemacetan, seperti yang biasa kami lihat di televisi saat suasana mudik. Hanya ada satu tempat yang cukup berkesan dan terasa sedikit melelahkan saat kami melewatinya. Di mana lagi kalau bukan di daerah sekitar jembatan Comal yang berita amblasnya jembatan itu memang sudah terdengar bahkan jauh sebelum kami berangkat mudik ke kota Malang.
       Mendengar berita tersebut, kami sudah menyiapkan beberapa alternatif jalur yang akan kami lalui saat mudik. Salah satu media yang kami gunakan untuk membantu mencari jalan terdekat adalah dengan bantuan GPS yang ada di tablet Advan, yang umurnya belum genap setahun kami miliki. Sejak tablet itu ada dalam genggaman, kami banyak terbantu untuk menghindari salah jalan dan tersesat. (#hehe..., promosi nih!) Jadi, sebelum berangkat kami sudah mengaktifkan GPS dan memasukkan kota Malang sebagai kota tujuan kami. Melihat jalur yang disarankan untuk dilalui, timbul pertanyaan, kenapa masih melalui jalur utara, yang artinya tetap melewati daerah Comal? Tapi, ah, jalan terus saja dulu. Kalau memang jalur pantura ditutup, kan tinggal ambil jalur selatan via Purwokerto.
       Tiba di simpang Pejagan, setelah melewati tol Kanci, jalur yang ke arah Purwokerto malah ditutup oleh petugas lalulintas. Padahal peringatan amblasnya jembatan Comal banyak terpampang di sepanjang jalan Tol Cikampek. Kami sempat ragu, jalur mana yang harus kami pilih. Tapi karena yang ke arah selatan ditutup total, ya kami harus belok kiri, melalui jalur pantura yang memang biasa kami lewati.
Sampai di Tegal, pengendara dibelokkan dari jalur yang seharusnya, mengambil arah ke Purwokerto. Namun hanya kendaraan besar dan berat, seperti truk dan bus. Sementara kendaraan kecil tetap melanjutkan ke arah Comal. Beberapa meter sebelum jembatan Comal yang amblas, arus lalulintas dibelokkan melalui jalan kampung. Pastinya memutar untuk melewati jembatan lain sehingga bisa menyeberangi sungai, lalu kembali ke jalur utama lagi. Berdasarkan peta yang saya lihat dan arahan GPS, memutarnya tidak terlalu jauh. Karena beberapa kilometer saja dari jalan utama, ada jembatan lain yang melintasi sungai yang sama. Akan tetapi, dari sinilah petualangan kami dan para pengendara lainnya dimulai.

gambar suasana saat memasuki perkampungan di kecamatan Comal 
       Di sebuah persimpangan, seharusnya kami berjalan lurus, kerena jembatan hanya beberapa ratus meter saja di depan kami. Namun di persimpangan itu terlihat beberapa orang, bukan petugas lalulintas, yang menghalau laju kendaraan kami dan menyuruh kami belok kanan. Kami sempat berpikir, mungkin nanti dibelokkan lagi di depan, sehingga bisa kembali ke jalan yang berada tepat sebelum jembatan. Ternyata dugaan kami keliru, kami diarahkan menuju jembatan lain yang jaraknya sangat jauh. Kami harus menempuh jalan kampung yang relatif kecil, sehingga saat berpapasan dengan mobil lain, salah satunya harus ada yang berhenti dulu, untuk menghindari terjadinya serempetan. Kami bisa melihat jauhnya jarak yang harus ditempuh dari peta GPS di tangan kami. Tapi, tetap saja itu adalah jarak yang cukup jauh yang harus kami lalui hanya dengan kecepatan mobil rata-rata 20 – 30 km/jam.
       Sampai di ujung terjauh, yang merupakan titik balik untuk bisa mencapai jembatan yang dimaksudkan, kami sempat berhenti. Iseng-iseng suami saya turun dan ngobrol dengan petugas. Dia menanyakan, berapa kilometer lagi jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke jalur utama, sembari sedikit mengeluhkan jauhnya jarak tersebut. Di luar dugaan, sang petugas menyatakan rasa kasihannya kepada pemudik yang harus menempuh jarak yang sangat jauh, akibat warga menutup jembatan terdekat yang seharusnya bisa dilalui.
       Apa yang disampaikan petugas lalulintas, persis seperti dugaan saya. Banyaknya warga yang berjualan di sepanjang jalan kampung yang kami lalui, membuat saya berpikir bahwa warga di sana sengaja menutup jalan yang mestinya bisa dilalui agar jarak yang kami tempuh semakin jauh. Kalau jaraknya jauh, tentunya akan melelahkan sehingga kami butuh beberapa saat untuk istirahat. Nah, saat itulah dagangan warga sangat mungkin akan dibeli oleh pemudik yang lewat. Atau setidaknya cuaca panas akan membuat kami haus, sehingga mau tidak mau kami harus membeli minuman atau makanan dari mereka yang harganya jelas lebih tinggi dari harga pasar. Dari debat kecil dengan suami, saya sempat protes dengan tindakan mereka. Namun suami saya mengatakan bahwa mungkin itu adalah cara Allah memberi rizki pada orang-orang itu.
       Secara materi, mungkin mereka (warga) bisa memperoleh keuntungan besar dari amblasnya jembatan Comal dan pengalihan lalulintas yang harus melalui desa mereka. Tapi, pernahkah mereka berpikir akan keberkahan yang bisa mereka peroleh dengan memberi kemudahan bagi orang lain (pemudik) untuk melalui jalan yang semestinya, sehingga pemudik tidak perlu memutar terlalu jauh? Apalah artinya segenggam materi yang bisa kita raih, jika harus diperoleh dengan jalan menyusahkan orang lain? Sudah sebegitu asingkah nilai keberkahan bagi manusia? Sudah begitu sulitkah manusia menjemput rizkinya, sampai harus mengabaikan keberkahan? Sehingga seolah-olah menjadi tidak penting, berkah atau tidak, asal bisa meraup keuntungan yang besar.
       Tapi..., astaghfirullah! Apa yang saya pikirkan? Kenapa saya harus berpikir negatif tentang mereka? Segera saya buang jauh-jauh pikiran itu. Apalagi saat itu masih suasana puasa. Alhamdulillah kami semua juga masih puasa. Sehingga cuaca sepanas apa pun, jarak sejauh apa pun, selama belum waktunya berbuka, kami kan tetap tidak mungkin membeli makanan dan minuman yang dijual warga. Walaupun jauhnya jarak yang harus kami tempuh memang terasa sangat melelahkan bagi kami. Tapi selalu ada hikmah dibalik suatu kejadian. Selama melewati jalan-jalan di kampung itu, kami bisa melihat pemandangan yang jarang bisa kami lihat. Beragam jenis tanaman menjadi objek perbincangan kami.
       “Ada pohon gundul di antara tanaman gandul”, ujar saya saat melihat bagian sisi kiri jalan.
       “Maksudnya?” seru dua anak saya yang besar, hampir bersamaan.
       Saya dan suami langsung tertawa melihat mimik mereka yang penuh tanda tanya dan rasa penasaran, lalu saya jelaskan kepada mereka maksud ucapan saya.
       “Itu, loh...! Ada banyak pohon lamtoro yang cabangnya dibabat habis, jadinya kan pohonnya gundul. Sementara di sela-sela pohon gundul itu ada tanaman pepaya, atau disebut juga dengan tanaman gandul...”.
       Kembali bersamaan, mereka berkata, “Ooo...!”


gambar "penampakan" pohon gundul di antara tanaman gandul


       Ya, menikmati pemandangan sepanjang jalan menjadi satu-satunya hal yang bisa kami nikmati. Saat sore mulai menjelang, kami juga bisa menyaksikan matahari yang perlahan mulai tenggelam. Perjalanan memutar karena amblasnya jembatan Comal, menjadi hal yang berkesan dalam mudik panjang pertama kami, dari kota Tangerang Selatan menuju kota Malang. 


gambar suasana salah satu sisi jalan saat waktu menjelang sore

Monday, June 9, 2014

Saya dan Buah Mangga


       Do you like mango? Kalau saya yang ditanya, saya bingung mau menjawab apa. Kalau saya bilang suka, mungkin saya akan selalu memburu buah mangga bila musimnya tiba. Padahal saya tidak sampai melakukan hal itu. Dan kalau saya bilang tidak suka, rasanya juga kurang tepat, karena saya bisa menghabiskan satu buah mangga berukuran besar sendirian dalam sekali santap. Apalagi mangga yang masak di pohon. Hmm, it's so delicious...
       Mangga sudah menjadi bagian dari kehidupan saya. Karena saya lahir dan dibesarkan di salah satu kabupaten penghasil mangga yang ada di Jawa Timur, yaitu kabupaten Situbondo. Saya dan orang tua tinggal di salah satu desa yang berada di bagian barat kawasan Situbondo. Untuk ukuran di desa, pekarangan rumah tempat saya tinggal tidaklah terlalu luas, tapi masih cukup menampung sekitar 15-an lebih pohon mangga berbagai jenis kala itu. Diantaranya ada mangga gadung, manalagi, golek, madu jawa, kweni, dan mangga "aneh". Kami menyebutnya mangga "aneh", karena rasanya yang tidak sama pada satu pohon, kadang sangat manis, tapi juga kadang sangat kecut.
       Sejak kecil, mangga sudah menjadi "camilan" favorit saya. Kalau sudah musim mangga, hampir setiap hari saya makan buah mangga. Mangga muda biasanya saya bikin "rujak", dengan bumbu dari yang simple, yaitu dengan ulekan lombok dan garam, hingga bumbu yang membutuhkan bahan lebih banyak, seperti bumbu rujak manis. Rasa mangga sangat tergantung pada jenisnya. Yang paling saya sukai untuk dibuat rujak adalah mangga golek, karena rasa asamnya segar dan daging buahnya renyah. Cara lain yang saya suka dalam makan buah mangga adalah dengan dibuat sambal mangga muda. Cara membuatnya sangat mudah, bisa dilihat di sini.
       Keseringan saya makan buah mangga, sempat mengganggu kesehatan saya. Waktu kelas 4 SD saya terkena tiphus yang lumayan serius. Saya sampai harus istirahat total selama 2 minggu lebih. Setelah sembuh dari sakit itu, saya dilarang makan mangga oleh dokter. Beruntung, larangan itu tidak untuk selamanya. Tapi saya benar-benar tidak boleh "menyentuh" mangga selama minimal 3 bulan jika ingin benar-benar sembuh dan bisa makan mangga sepuas hati lagi. Karena saya orangnya patuh, ya saya ikuti apa kata dokter yang melegenda dalam hidup saya itu. Mungkin dia satu-satunya dokter yang menjenguk pasiennya.
       Kembali ke buah mangga. Akhirnya saya bisa menikmati buah itu lagi setelah 3 bulan lebih saya tidak "menyentuh"-nya. Tentu saja saya bertahap memakannya. Dan kalau lagi tidak musim mangga, saya akan dengan penuh kesabaran menunggu sampai musimnya lagi tiba. Karena selalu ada keyakinan bahwa tidak lama lagi pohon-pohon mangga itu akan kembali berbuah.
       Banyaknya pohon mangga di tempat tinggal saya menjadi salah satu sumber ekonomi bagi orang tua. Dulu orang tua saya biasa menjual buah mangga dengan cara diborong satu pohon sekaligus untuk beberapa kali berbuah sesuai perjanjian. Tapi saat ini, sistem penjualan seperti itu sudah jarang dipakai. Orang tua memilih untuk menjual buah mangga untuk sekali petik saja. Kadangkala malah dijual per buah. Jadi setelah dipetik, buah mangga itu dihitung lalu dikalikan dengan harga yang sudah disepakati per buahnya. Hanya saja harga jual buah mangga kian hari kian merosot. Harga satu buah mangga manalagi saat ini hanya bisa dijual paling mahal Rp1500,00. Tidak jarang para tengkulak buah mangga menawar hingga Rp250,00 per buah. Padahal kalau saya membeli di supermarket, 1 buah bisa Rp10000,00. Beda banyak sekali kan?
       Sejak saya pergi merantau jauh dari Situbondo, orang tua sudah sangat jarang menjual buah mangga kecuali harganya benar-benar cocok dan meng-"hasil"-kan. Kalau buah mangga dibeli dengan harga yang cukup tinggi, barulah orang tua saya mau melepasnya. Kan lumayan buat menambah income untuk tambahan biaya sekolah dan biaya hidup sehari-hari. Kalau tidak, orang tua saya memilih untuk memanennya sendiri lalu di-packing untuk dikirimkan pada saya, yang tinggal jauh di rantau. Lumayan, daripada harus membeli. Apalagi tempat tinggal saya sekarang tidak ada pohon mangganya. Satu-satunya cara untuk bisa memperoleh buah mangga ya hanya dengan membeli.
       Saat ini, pohon mangga di rumah orang tua saya sudah tidak sebanyak dulu. Karena sebagian tanah pekarangan digunakan untuk mendirikan bangunan. Pohonnya juga tidak besar-besar, karena pohon mangga yang ada sekarang merupakan pohon hasil mencangkok dari yang ada dulu. Jenisnya juga hanya tersisa 3 dari 6 jenis yang pernah ada. Tapi pohon mangga yang tersisa masih lebih dari cukup untuk bisa menikmati buah mangga sampai puas. Dan karena kalau membeli buah mangga di toko buah cukup mahal, maka saya memilih untuk menunggu saat musim buah mangga tiba untuk bisa menikmatinya. Yaitu dengan cara pulang kampung atau minta kiriman paketan mangga dari kampung, yang selisih harganya masih lumayan jauh bila dibandingkan dengan harus membeli di toko. Sementara pohon mangga di kampung belum berbuah atau buahnya belum tua, maka saya memilih bersabar untuk menunggunya berbuah dan matang di pohon. Karena rasanya akan lebih manis, lebih segar dan lebih lezat.
       Jadi, saya termasuk yang suka buah mangga atau tidak ya...?      


Thursday, May 22, 2014

Pedofil dan Over-Protektif yang Semakin Menjadi



 Pedofil memang bukan hal baru. Saya pun sudah lama mendengar istilah itu. Namun apa yang dilakukan si “E” yang mengalami kelainan jiwa pedofil baru-baru ini, sangat mengejutkan saya sebagai ibu dari anak yang masih kecil-kecil. Banyaknya jumlah anak yang menjadi korban kejiwaan si “E”-lah yang membuat saya sangat khawatir.
Saya punya empat orang anak. Salah satu dari anak saya, sangat aktif dan mudah bergaul (menurut saya mah). Gadis kecil yang beberapa hari lagi akan memasuki usia 5 tahun ini, tidak butuh waktu lama untuk bisa menikmati kebersamaan dengan teman yang baru dikenalnya. Namun dia punya kebiasaan, yaitu selalu lupa dengan nama teman yang baru dikenalnya. Tidak jarang saya yang menanyakan nama pada teman barunya itu tanpa sepengetahuan anak saya. Sehingga saya bisa membantu mengingatkan, saat dia lupa dengan nama teman yang baru dikenalnya.
Beberapa hari yang lalu saya mengajaknya pergi berenang. Di area kolam renang itu dia bertemu dengan seorang anak perempuan yang usianya mungkin hampir sebaya. Karena besar dan tinggi anak itu tidak terlalu jauh berbeda dengan anak saya. Tempat saya menunggunya berenang yang cukup strategis, membuat saya leluasa melihat apa yang dilakukan anak saya dan teman barunya. 

 
Anak saya yang memang sudah biasa menaiki water boom di area kolam renang, mengajak teman barunya untuk naik. Rupanya anak itu belum begitu berani untuk menaiki perosotan air yang memang cukup tinggi dan berkelok. Jadi mereka hanya berenang-renang saja kesana kemari. Tapi anak saya terus saja berusaha mengajak anak itu untuk naik. Sampai akhirnya anak itu mau, namun dia minta untuk menuruni perosotan bersama-sama. Jadilah mereka meluncur bersama.
Eksekusi meluncur yang sukses, membuat teman baru anak saya ingin mengulangi menaiki water boom. Alhasil, mereka berdua terus menerus mengulangi apa yang dilakukannya. Sampai-sampai saya lihat justru anak saya mulai kelelahan karena beberapa kali kepalanya masuk ke dalam air setelah meluncur. Sementara teman baru anak saya yang awalnya tidak berani, menjadi ketagihan untuk meluncur dan meluncur.

Itu hal terbaru yang dilakukan gadis kecil saya bersama orang yang baru dikenalnya. Sebentar saja, dengan sedikit obrolan, anak saya sudah akan akrab dengan teman barunya. Hal-hal seperti itu sudah biasa dan sering dilakukannya, yang bagi saya itu merupakan hal yang baik, karena teman barunya itu sebaya dan sama-sama perempuan.
Dalam kesempatan yang lain, saya pernah mengajak anak saya menempuh perjalanan Jakarta – Solo dengan bus. Perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 15 jam itu mungkin melelahkan dan menjemukan jika hanya duduk diam saja tanpa aktivitas. Namun anak saya yang aktif ini, dari awal berangkat sudah memilih berdiri untuk melihat pemandangan sekitar melalui jendela.
Sekitar 2 jam-an setelah bus berangkat, anak saya sudah terlihat bercakap-cakap dengan 2 penumpang laki-laki yang duduk di belakang kami. Secara halus saya menegur anak saya, dengan menyampaikan agar tidak mengganggu mas-mas yang di belakang itu. Namun anak saya tetap saja melakukannya. Bahkan, beberapa saat kemudian dia sudah berbalik badan dengan memegang sebuah jajanan ringan yang diberi oleh dua penumpang tersebut. Dan anak saya langsung menyantapnya tanpa rasa khawatir sedikit pun.
Mungkin memang begitulah anak-anak, mereka sangat polos. Padahal saya sebagai ibunya sangat khawatir, kalau-kalau dua penumpang itu bukanlah orang “baik-baik”. Rasa khawatir saya muncul karena dua penumpang itu sudah bukan lagi anak-anak, jelas tidak sebaya dengan anak saya dan mereka berjenis kelamin laki-laki.
Ada satu pengalaman lagi yang sangat membuat saya khawatir kala itu. Saat saya pindah rumah karena pekerjaan suami yang jauh dari rumah tempat kami tinggal. Tempat suami bekerja memberi fasilitas sebuah rumah untuk kami tempati selama kami belum mendapatkan rumah tetap untuk tinggal. Namun ada dua orang lagi yang juga tinggal di rumah itu, dan mereka laki-laki. Meskipun antara kami dan mereka sudah ada sekat, tapi anak-anak masih bisa dengan mudah keluar masuk ke tempat mereka dari pintu depan.
Lagi-lagi, yang namanya anak-anak, mereka susah diajak berdiam diri di dalam rumah meskipun beragam mainan sudah “cukup” disediakan. Anak-anak cepat sekali bosan. Dan anak saya adalah tipe anak yang lebih suka bermain dan berinteraksi dengan orang lain, daripada harus duduk diam di rumah sambil nonton TV atau main game di komputer. Pilihan terakhir itu dia ambil saat benar-benar dia tahu tidak ada siapa pun yang bisa diajak untuk main bersama. Seperti ketika dua orang yang tinggal satu atap dengan kami harus masuk kerja.
Sementara hari-hari saat mereka ada di rumah, anak saya selalu mencoba untuk menghampiri mereka. Anak saya juga betah sekali bermain-main dengan mereka. Apalagi mereka menyediakan makanan ringan yang memang disukai anak-anak. Dan saya sebagai ibunya, selalu khawatir ketika anak perempuan saya bermain dengan laki-laki yang saya tidak mengenal mereka dengan baik atau saya sudah mengenal cukup lama. Saya baru sedikit merasa tenang melepas anak saya bermain, jika ayahnya juga ada bersamanya.
Itu sedikit cerita tentang anak perempuan saya. Menurut saya, dia termasuk anak pemberani yang mudah bergaul dengan siapa saja. Dia selalu menjawab saat orang lain menanyakan sesuatu kepadanya, meskipun dia tidak mengenalnya. Dan saya selalu khawatir terhadapnya setiap kali dia berbincang terlalu akrab dengan laki-laki. Saya juga selalu mengingatkan dia untuk tidak terlalu akrab dengan laki-laki yang tidak ada hubungan kekerabatan dengannya.
Beberapa teman mengatakan, bahwa saya over-protektif. Saya tidak menyalahkan atau pun membenarkan mereka. Karena saya memilih sikap itu sebagai upaya kehati-hatian dan kewaspadaan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada anak saya. Terutama pada anak perempuan, karena saya memang memberi penjagaan lebih ketat terhadap anak perempuan dibanding terhadap anak laki-laki. Itu sikap saya sebagai ibu sebelum kasus si “E” muncul di media.
Setelah kasus si “E” ini terungkap dan saya melihat beritanya di media, kekhawatiran dan ketakutan saya sebagai ibu semakin menjadi. Saya yang sudah mulai berani melepas anak-anak bermain sendiri di lingkungan kompleks tanpa pengawasan langsung dari saya, mulai membatasi anak-anak lagi. Bahkan batasan itu tidak hanya berlaku pada anak perempuan, tapi juga pada anak laki-laki. Saat ini saya hanya bisa berharap, semoga semua bentuk kekerasan, terutama kekerasan seksual terhadap anak-anak bisa segera diantisipasi oleh pemerintah, sebagaimana diberitakan akhir-akhir ini.

Saturday, February 8, 2014

"Down Feet", Rajin Terapi Sejak Dini Akan Sangat Membantu, Bunda.

Ini tentang anak pertama saya. Masa kehamilan yang bisa dibilang sempurna (9 bulan, 10 hari), dan kondisi kehamilan yang nyaris tanpa keluhan (tanpa mual dan ngidam), ternyata tidak menjamin akan lahir seorang anak yang sehat dan betul-betul sempurna (tanpa gangguan dan kelainan sedikitpun). Setidaknya itu yang saya dapati pada anak yang saya lahirkan.

Saat kelahirannya, anak saya tidak langsung menangis. Setelah mendapat tindakan yang tepat dari bidan yang membantu proses saya melahirkan, anak saya pun bisa bernafas dengan baik dan berangsur-angsur suara tangisnya terdengar.

Secara fisik, anak saya terlahir lengkap. Mendapati seorang bayi yang lahir dengan suara tangis yang kuat dan bagian tubuh lengkap, mungkin sudah bisa kita anggap sempurna. Begitu pun yang saya rasakan setelah saya mendengar suara tangis anak saya. Lega rasanya, masa kritis menunggu suara tangis anak saya yang badannya nampak membiru saat dilahirkan telah terlewati. Sehingga saya bisa membawa pulang anak saya ke rumah dengan perasaan bahagia.

Namun, tepat satu minggu setelah kelahirannya, saya mendapati ada yang ganjil pada salah satu kaki anak saya. Pada saat akan memakaikan kaos kaki, sehabis mandi sore, saya melihat kaki kanan anak saya berbeda dengan kaki kirinya. Kaki kiri terlihat tegak dengan jemari yang aktif bergerak, namun tidak kaki kanannya. Kaki itu terlihat lemas (layu atau lunglai), dan ketika saya menggendongnya, kaki itu nampak "jatuh" (istilah medis untuk kasus seperti anak saya memang biasa disebut "down feet") dan tidak terlihat ada gerakan. Bahkan ketika telapak kakinya saya rangsang dengan sentuhan, sama sekali tidak merespon.

Mendapati keadaan itu, saya membawa anak saya ke bidan yang membantunya lahir. Oleh bu bidan saya dianjurkan untuk sering-sering menyangga kaki kanan anak saya dengan telapak tangan, terutama saat sedang menyusuinya. Jadi, tidak membiarkannya "jatuh" begitu saja.

Karena merasa masalah yang terjadi pada anak saya cukup serius, saya dan suami memutuskan untuk membawanya ke dokter. Pilihan pertama kami adalah mendatangi dokter anak (karena tidak ada dokter bayi). Kami sangat berharap bisa mendapat informasi yang benar tentang apa yang terjadi sekaligus memperoleh solusi yang tepat untuk mengatasinya. Tapi penjelasan yang disampaikan dokter kurang memuaskan kami. Bukannya memberi solusi malah menyalahkan bidan yang tidak segera memberi tindakan atas apa yang terjadi, dan dokter itu mengatakan kalau kaki anak saya mengalami infeksi, dikarenakan kaki anak saya nampak kemerahan. Kami pun diberi resep obat untuk saya minum selama dua minggu.

Hingga obat yang diberi dokter anak habis saya minum, kaki anak saya belum menunjukkan perubahan apa-apa. Keadaannya masih sama seperti pertama kali saya mendapatinya seperti itu. Lalu kami berpindah dokter. Kali ini kami memilih mendatangi dokter syaraf, karena kami menduga kalau yang terjadi pada anak saya berhubungan dengan syarafnya. Setelah bertemu dokter syaraf kami mendapat sedikit pencerahan. Dokter syaraf itu tidak hanya memberi resep obat untuk merangsang kerja syaraf, namun juga menyarankan kepada kami untuk menemui dokter bedah tulang yang bisa menginformasikan kepada kami terapi yang tepat untuk kaki anak saya.

Seperti saran dari dokter syaraf, kami pun mendatangi dokter bedah tulang (disingkatnya BO atau Bedah Orthopedi). Setelah kaki anak saya diperiksa, dokter itu menyampaikan bahwa anak saya perlu dipakaikan sepatu khusus untuk menopang kakinya yang "jatuh". Untuk membuat sepatu itu dibutuhkan waktu setidaknya 2 minggu, karena harus menggunakan bahan dari kulit dengan kualitas yang baik. Jadi, dokter itu meminta kami kembali 2 minggu kemudian untuk mengambil sepatu itu sekaligus melihat bagaimana cara menggunakannya.

Dua minggu kemudian, kami pun kembali. Sepatu untuk anak saya sudah siap, yang ternyata bentuknya tidak benar-benar seperti sepatu, namun hanya penopang berbentuk tegak lurus dengan bentuk dan bahan yang memang nyaman untuk kulit. Lalu penopang itu dibalut dengan perban dari bawah lutut sampai menutupi seluruh telapak kaki. Dokter menyarankan untuk memakaikan "sepatu" itu setiap malam, kalau perlu siang hari juga boleh, karena semakin sering semakin baik. Tapi tidak boleh terus menerus dipakai tanpa dilepas, karena ikatan perbannya makin lama akan makin longgar. Jadi dilepas pasang untuk memastikan ikatannya cukup kuat untuk menahan telapak kakinya.

Nah, dengan menahan telapak kaki pada posisi tegak lurus dengan kaki itulah, selain kaki tidak "jatuh" juga merangsang syaraf dan otot-otot pada pergelangan kaki untuk terus bekerja. Dengan telapak kaki tertahan maka otot kaki tidak lagi bisa mendorong telapak kaki ke bawah, yang membuatnya semakin jatuh, namun otot kaki justru akan mendorongnya ke atas. Semakin sering syaraf dirangsang, otot akan bekerja semakin baik. Dengan bisa menggerakkan telapak kaki ke atas, maka telapak kaki juga akan mudah digerakkan ke bawah.

Setelah satu bulan pemakaian, saya sudah bisa melihat kaki anak saya bisa bergerak ke atas saat saya menahan telapak kakinya dengan tangan. Tapi tidak kalau dilepas, kakinya masih "jatuh", seperti belum punya tenaga. Itulah kenapa terapi itu harus dilakukan terus menerus, sampai kaki mampu bergerak sendiri meskipun tidak ada yang menahannya.

Perubahan itu memacu saya untuk terus memberikan rangsangan, dengan "sepatu" pada malam hari dan manual (dengan tangan) pada siang harinya. Saya memakaikan "sepatu" itu terus menerus selama 6 bulan sejak pertama kali anak saya memakainya. Saya baru mengurangi pemakaian "sepatu" itu saat anak saya sudah mulai belajar berdiri, karena aktifitas berdiri sudah menjadi terapi tersendiri untuk kaki yang "jatuh".

Tanpa terapi yang tepat, anak yang mengalami "down feet" mungkin masih bisa berdiri dan berjalan, namun beberapa tidak menggunakan telapak kakinya melainkan dengan ujung jari (seperti berjalan jinjit) atau dengan sisi luar kakinya.

Alhamdulillah..., kami dan seluruh keluarga merasa lega, akhirnya anak saya bisa berjalan menggunakan telapak kakinya. Rupanya keinginan saya untuk cepat bisa jalan waktu masih bayi dulu (kata orang tua sih...), menurun juga pada anak pertama saya. Meski sempat mengalami kondisi kaki yang cukup membuat saya khawatir, akhirnya anak saya bisa berjalan tepat di usia satu tahun.

Friday, January 31, 2014

Buang Sampah Sembarangan..., Gak Keren Ah!!!

Pada suatu pagi yang masih gelap, saya menggunakan jasa travel untuk mengantar saya dan anak saya menuju bandara. Saya adalah orang pertama yang dijemput oleh travel tersebut. Setelah itu, travel menuju kompleks perumahan padat, dan menjemput satu penumpang di kompleks itu. Karena kursi depan sudah ada yang memesan dan saya memilih duduk di kursi tengah, maka penumpang itu duduk di kursi belakang. Dari penampilannya yang nyantai dan biasa, dengan

Thursday, January 23, 2014

Banjir di Pamanukan, kemana petugas lalulintas...?!

Sabtu, 18 Januari 2014, kami dalam perjalanan dari Solo menuju Jakarta. Kami memilih untuk melintasi jalur pantura, dengan pertimbangan bahwa jalan yang akan kami lalui lebih lapang dan tidak terlalu berkelok-kelok. Hampir sepanjang perjalanan kami selalu diguyur hujan, dari yang intensitasnya rendah sampai tinggi. Kami rasa itu biasa, karena memang ini musim hujan. Tapi begitu memasuki kota Pekalongan, dampak hujan yang hampir terus menerus turun, mulai terlihat. Di sebelah kanan dan kiri jalan terlihat air menggenang, bahkan sebagian hampir sama tingginya dengan