Showing posts with label My Story. Show all posts
Showing posts with label My Story. Show all posts

Thursday, June 25, 2015

Tiga Malam di Tiga Masjid Berbeda, Ini Yang Saya Rasakan


Setelah kembali dari perjalanan panjang Jakarta-Malang selama lima hari awal ramadhan plus satu hari sebelum masuk ramadhan, hari senin menjadi hari pertama saya menjalankan puasa di Pamulang tahun ini. Setelah lima malam saya tidak melaksanakan tarawih di masjid, maka malam selasa saya mulai bisa merasakan nuansa ramadhan dengan mengisi malamnya untuk tarawih di masjid. Ini memang bukan ramadhan pertama saya di sini, tapi tahun lalu belum semua masjid saya sambangi sebagai tempat melaksanakan ibadah sholat tarawih. Dengan tujuan mencari masjid yang paling nyaman, "versi saya", untuk tarawih, saya mulai melaksanakan tarawih dari masjid terdekat dari rumah. Nyaman versi saya memang lebih kepada ritual ibadah yang dilaksanakan, walaupun ada hal lain yang jadi pertimbangan mengingat saya tarawih dengan membawa tiga anak kecil yang salah satunya batita.

Malam Pertama di Masjid Pertama

Saya sudah pernah sholat tarawih di masjid ini pada ramadhan tahun lalu. Sedikit banyak saya sudah mengerti bagaimana tata cara dan urutan-urutan ritual sholatnya. Dimulai dengan sholat isya berjamaah, lalu jeda sebentar untuk sholat sunnah bakdiyah, dan dilanjutkan dengan sholat tarawih berjamaah. Selepas sholat tarawih sebanyak dua kali 4 rakaat, lalu diisi dengan ceramah ramadhan dan ditutup dengan sholat witir 3 rakaat.

Di masjid ini jamaahnya cukup penuh, hingga sekitar sepertiga dari jamaah perempuan harus sholat di teras masjid. Karena teras masjid tidak diberi karpet dan saya juga tidak membawa sajadah, maka saya melaksanakan sholat dengan beralaskan lantai keramik. Namun sholat beralaskan lantai, bagi saya, tidak lebih mengganggu daripada jejeran shaf wanita yang masing-masing berdiri di atas sajadah yang lebarnya lebih dari 50cm. Kebayang kan, bagaimana jarang-jarangnya shaf wanita, yang jika dirapatkan, mungkin jamaah wanita tidak perlu ada yang sholat di teras masjid.

Untuk anak-anak, masjid pertama ini kurang aman sebetulnya, karena berada tepat di sisi jalan raya dan tidak berpagar. Namun anak-anak biasanya lebih banyak bermain di sekitar area masjid saja, tidak sampai ke jalan raya. Tapi ada hal lain yang perlu saya waspadai, yaitu tangga naik ke lantai dua, yang meskipun tidak dipakai untuk sholat, tangganya biasa dinaiki oleh anak-anak dan pegangannya dipakai untuk perosotan. 

Malam Kedua di Masjid Kedua

Saya juga sudah pernah sholat tarawih di masjid ini ramadhan tahun lalu. Berbeda dengan masjid pertama, di masjid kedua ini, ceramah ramadhannya diberikan setelah sholat isya. Namun tarawih dan witirnya sama dengan masjid pertama, masing-masing 4 rakaat dan 3 rakaat.

Di masjid kedua ini, jamaahnya lebih banyak dari masjid pertama. Sehingga tidak hanya teras yang terisi jamaah wanita, tapi juga pelataran depan masjid yang berubin paving blok. Lagi-lagi, karena saya tidak membawa sajadah, saya harus sholat di atas paving blok yang hanya diberi alas perlak plastik yang permukaannya mulai mengelupas. Sehingga bagian kulit yang bersentuhan langsung dengan alas sholat, dipenuhi dengan serpihan kecil-kecil plastik.

Untuk anak-anak, masjid kedua relatif lebih aman, karena merupakan masjid kompleks yang lalulintasnya tidak terlalu ramai. Tangga masjid cukup aman, karena tidak terlalu bisa diakses dari lokasi jamaah wanita. Di sekitar masjid ada beberapa penjual makanan yang cukup menggoda anak-anak. But no! Saya mungkin tidak akan mengijinkan anak-anak membeli makanan, kecuali besoknya sudah tidak akan tarawih di masjid itu lagi.

Malam Ketiga di Masjid Ketiga

Lokasi masjidnya memang lebih jauh dibanding yang pertama dan kedua, tapi tidak terlalu jauh juga. Ini adalah kali pertama saya sholat tarawih di masjid ini. Berbeda dengan dua masjid sebelumnya, sholat tarawih dilaksanakan empat kali 2 rakaat. Bagi saya, sholat sunnah dua-dua itu terasa lebih ringan. Kalau urusan sunnah, 2 rakaat dan 4 rakaat sama-sama pernah dilakukan oleh Rasulullah. Namun ada aura berbeda yang saya rasakan. Bacaan imam sholatnya begitu indah. Iramanya seperti bacaan para hafidz qur'an yang berasal dari negeri asalnya, yaitu tanah arab, meski bukan orang arab. Saya bisa merasakan semangat yang sama dengan saat sholat tarawih di Malang beberapa tahun terakhir sebelum pindah ke Pamulang. Di Malang dulu, saya biasa memburu masjid yang imam sholatnya adalah para syeikh yang berasal dari negeri arab. Entahlah, saya bisa merasakan ketenangan mendengar bacaan qur'an mereka.

Ceramah ramadhan dilaksanakan selepas sholat tarawih, seperti pada masjid pertama. Namun lagi-lagi ada aura berbeda yang saya rasakan. Baru di masjid ketiga ini saya mendapati ceramahnya dibuka dengan membaca tiga ayat qur'an yang memang biasa saya dengar dari da'i-da'i waktu di Malang dulu. Nostalgiakah? Mungkin. Tapi urutan-urutan pembuka ceramah termasuk tiga ayat qur'an dan satu hadits itu seperti sudah menjadi bagian wajib bagi saya saat mendengarkan ceramah agama. Cara da'i di masjid ketiga ini menyampaikan ceramahnya juga berbeda, terasa lebih hidup. Beliau melakukan kontak dengan jamaah, sehingga kesan dakwahnya begitu terasa, bukan hanya asal ceramah. Satu lagi yang berbeda, ceramah ditutup dengan do'a kafaratul majelis, yang tidak saya dapati di masjid pertama dan kedua. Mungkin sudah lama saya tidak mendengarkan taushiyah dari ustadz-ustadz saya di Malang, namun apa-apa yang menjadi kebiasaan beliau-beliau saat memberikan taushiyah tidak bisa saya lupakan.

Jejeran shaf wanita di masjid ketiga tidak jauh berbeda dengan dua masjid sebelumnya. Bagi saya yang meyakini bahwa shaf yang rapat (benar-benar) menjadi penyempurna sholat, kadang saya merasa sedih. Bagaimana mereka bisa merasakan kebersamaan di saat sholat jika antara mereka dengan jamaah sholat lain begitu berjarak. Yang bersentuhan hanyalah sajadah mereka, yang bagi saya sajadah-sajadah itu cukup untuk tempat saya sholat berdua dengan putri saya yang berusia 10 tahun. Kali ini saya membawa sajadah, karena saya merasa kasihan pada anak-anak ketika sholat jika harus sholat tanpa sajadah. Namun begitu masuk masjid yang terlihat masih cukup longgar itu, permukaan lantainya sudah dipenuhi dengan karpet bagus sehingga tanpa sajadah pun sudah sangat nyaman.

Untuk anak-anak, masjid ketiga ini juga cukup aman, karena memang area masjid yang cukup luas. Karena begitu luasnya (atau jamaahnya yang sedikit ya), sehingga teras di sisi kanan, kiri dan depan masjid tidak sampai terisi oleh jamaah. Jadi, saya pun bisa melaksanakan sholat dengan lebih khusyuk.

Begitulah pengalaman yang saya rasakan dari tiga malam pertama saya sholat tarawih di Pamulang, di tiga masjid berbeda, pada ramadhan tahun ini. Kenyamanan memang sangat relatif. Tapi bagi mereka yang sudah pernah merasakan kenyamanan saat melakukan suatu ibadah, pasti ingin merasakan kembali hal yang sama. Terlebih lagi dalam ibadah sholat tarawih di bulan ramadhan yang hanya ada sebulan dalam satu tahun ini, pastilah kita ingin mencari tempat terbaik untuk ibadah di bulan terbaik.

Hmm, nanti malam tarawih dimana ya???


Tuesday, June 23, 2015

(Mencoba) Menaklukkan Roda Empat



Awal mula hijrah ke Tangerang Selatan sekitar dua tahun lalu, perjalanan yang harus ditempuh dari kota Malang menuju Tangsel dengan kendaraan pribadi, terasa begitu jauuuh. Dari Tangsel menuju Klaten saja, tempat anak pertama saya mondok, biasanya memerlukan waktu sekitar 24 jam. Padahal saya mesti mengunjungi anak saya itu setidaknya sekali dalam dua bulan. Awang-awangan juga rasanya mesti menempuh waktu selama itu, padahal waktu yang dihabiskan bersama anak saya di Klaten lebih sering kurang dari waktu tersebut.

Perjalanan darat menggunakan mobil menjadi pilihan saya dan suami untuk pulang pergi ke kota Malang saat hari-hari libur dan mengunjungi anak kami yang tinggal di pesantren. Selain karena pertimbangan ekonomis, juga karena memang salah satu niat kami membeli mobil 3 tahun lalu adalah untuk kepentingan anak-anak. Sebetulnya perjalanan dengan pesawat atau kereta api bisa lebih murah jika dilakukan seorang diri. Tapi kalau mesti berlima, aha, tentu saja perhitungannya berbeda.

Kalau dihitung dari jarak tempuh, waktu yang dibutuhkan seharusnya tidak banyak untuk bisa sampai Klaten dan Malang. Namun karena suami adalah satu-satunya yang pegang kemudi, lelah dan ngantuk menjadi halangan untuk bisa melakukan perjalanan tanpa henti. Kami juga mesti berhenti untuk sholat dan makan. Tak terkecuali si mobil, yang setelah 6 hingga 7 jam berjalan juga butuh istirahat beberapa saat.

Akan tetapi, pada perjalanan terakhir kami pekan lalu, saya sudah bisa tiba lebih cepat. Dari Jakarta ke Klaten sudah bisa ditempuh selama 14 jam termasuk waktu yang digunakan untuk sholat dan makan. Hemat waktu 10 jam dari biasanya. Setelah berhenti di Klaten selama 4 jam untuk ambil raport dan berpamitan, perjalanan dilanjutkan ke Malang. Daaan, perjalanan kembali ke Tangsel dari Malang, akhirnya bisa ditempuh dalam waktu 20 jam. Padahal sudah termasuk waktu istirahat untuk makan sahur dan sholat subuh selama 2 jam. Amazing for us!  

Bagaimana bisa begitu?

Alhamdulillah... Akhirnya sebulan terakhir ini, dengan pertolongan Allah plus modal kendel dan niat saya untuk membantu suami, saya bisa ambil alih kemudi ketika suami merasa lelah dan ngantuk. Telat mungkin saya bisa menaklukkan kemudi, seperti kata suami, "sudah punya mobil 3 tahun, belum bisa nyetir???" Hehe. Belajarnya sih sudah sejak awal beli, tapi saya hentikan karena sedang hamil, khawatir mempengaruhi kehamilan, kata suami, "alasan..." Kemudian saya ribet dengan kehadiran adik bayi, kan saya full time mother, hehehe. Tapi harus diakui, penghambat utamanya adalah kurang pe-de, hanya karena saya memiliki postur tubuh yang "sedikit" pendek. Kebayang kan, gimana mau nyetir kalau yang ada di depan mobil tidak kelihatan. Ba-ha-ya!!!

Sebelum menempuh jarak yang cukup jauh dengan keadaan lalulintas yang cukup ramai, saya sempat mencoba pegang kemudi dari Pamulang menuju Cikupa dengan pengawasan suami. Biasanya kalau saya yang nyetir, suami malah tidak bisa tidur karena khawatir. Namun setelah dianggap layak oleh suami, sekarang saya dan suami bisa bergantian pegang kemudi. Ketika suami nyetir, saya tidur, dan saat suami merasa lelah dan mengantuk, gantian saya yang nyetir. Jadi, waktu tempuh kami bisa lebih cepat dari biasanya. 

Karena hambatan sudah bisa saya atasi, saya ingin berbagi tips, terutama bagi yang belum "berani" pegang kemudi. Tips ini saya kumpulkan dari pengalaman mengawasi suami menyetir dan dari pesan-pesan suami kepada saya, yaitu:
  1. Berdoa sebelum mulai pegang kemudi.
  2. Pastikan sudah duduk dengan nyaman, memasang sabuk pengaman, dan menyesuaikan kaca spion sesuai kebutuhan, sebelum menyalakan mesin mobil.
  3. Jika postur tubuh tidak memadai (seperti saya), gunakan alat bantu yang bisa membuat Anda merasa nyaman menyetir dan lebih leluasa mengawasi lalulintas di depan (saya menggunakan bantalan untuk duduk).
  4. Untuk bisa mahir mengemudi, yang dibutuhkan tidak hanya bisa menyetir, tapi juga seberapa sering mengemudi. Jadi, bagi yang masih berlatih, teruslah berkendara, jangan berhenti hanya karena merasa tidak mampu.
  5. Semakin beragam jenis jalan yang pernah dilalui, akan membuat Anda lebih mahir lagi.
  6. Tenang dan santailah berkendara, namun tetap fokus dan waspada.
  7. Kendalikan kecepatan kendaraan sesuai kemampuan bekendara, yang masih pemula, pelan-pelan saja dulu, lalu bertahap tingkatkan kecepatan.
  8. Pe-de dalam bekendara sangat diperlukan. Jangan gugup saat sedang berpapasan dengan kendaraan lain, karena kendaraan lain itu juga pasti ada pengemudinya.
  9. Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, misalnya mesin tiba-tiba mati, jangan panik. Tetap tenang dan segera amankan mobil dengan rem tangan.
  10. Saat berhenti, pastikan posisi mobil sudah aman, tidak mengganggu jalan; kopling sudah pada posisi nol; dan rem tangan sudah terpasang.
  11. Sebelum yakin mampu berkendara, jangan sekali-sekali menyetir mobil seorang diri.
Nah, tunggu apalagi! Yang sudah punya fasilitas kendaraan roda empat dan belum berani pegang kemudi, ayo mulai dari sekarang! Tidak mulai-mulai, ya tidak bisa-bisa! Kalau kata pakar, kuncinya satu, you can if you think you can, hehe... Semoga bermanfaat ya, tipsnya.

Saturday, May 2, 2015

Buah Didikan "Keras" Buat Saya

Baru nyadar, hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional. Bukan apa-apa, saya tidak biasa mengkhususkan sesuatu pada saat-saat tertentu, termasuk saat hardiknas ini. Apalagi aktivitas mendidik memang sesuatu yang harus saya lakukan setiap hari, yang obyeknya bukan hanya anak-anak, tapi juga mendidik diri sendiri agar bisa lebih baik dari waktu ke waktu.

Berbicara masalah pendidikan, tidak terlepas dari bagaimana pola mendidik. Sampai hari ini saya masih terus mencari pola yang tepat dalam mendidik anak-anak. Saya punya empat anak dengan model yang berbeda, sehingga saya juga harus memberikan pola yang berbeda pada masing-masing dari mereka. Tentu saja ada nilai-nilai yang saya tanamkan pada anak-anak dan berlaku rata bagi semuanya. Tapi kali ini saya bukan ingin share tentang bagaimana saya mendidik anak-anak saya, melainkan saya akan share bagaimana orang tua mendidik saya.

Saya tinggal di kampung. Secara umum, pola pendidikan yang saya dapatkan dari orang tua tidak jauh berbeda dengan pola asuh keluarga lainnya. Namun ada beberapa nilai yang penanamannya sangat kuat bagi kami, dan "pembangkangan" atas hal itu berarti hukuman yang cukup "serius". Berikut ini beberapa di antaranya.

 
>>Perintah Melaksanakan Sholat 

Sholat menjadi aktivitas yang tidak boleh ditinggalkan dalam keluarga saya. Kalau perintah melaksanakan sholat tidak segera saya lakukan, maka ibu akan memberikan "omelan sayang"-nya pada saya. Ibu saya tinggal di rumah, alias tidak bekerja di luar, jadi ibu bisa memantau semua aktivitas anak-anaknya, termasuk urusan sholat. Rasanya tidak mungkin untuk mengatakan sudah sholat dan ibu tidak mengetahui bahwa saya belum sholat. Tapi, kalau kami membangkang, yang turun tangan biasanya bapak. Bapaklah yang berperan memberi hukuman bagi yang melanggar. Lumayan, sebuah cubitan yang meninggalkan bekas biru di paha membuat saya punya "sedikit" rasa jera. Namun dari pola tersebutlah, sholat mulai menjadi kebiasaan saya. Dan melaksanakan sholat pun menjadi aktivitas yang tanpa disuruh-suruh lagi, kecuali hanya sesekali saja ibu mengingatkan. Sehingga pada saat pertama kali saya mendapatkan haidh, ibu sudah bisa menebaknya hanya karena saya tidak bersegera sholat dan ketika disuruh, saya hanya senyam senyum.
 
>>Perintah Untuk Mengaji (Belajar Baca Tulis Qur'an)

Di kampung saya dulu, mengajinya malam hari. Saya berangkat menuju langgar (sebutan lain untuk mushola) sekitar 15-30 menit sebelum maghrib. Nah, pada 15-30 menit sebelumnya, kalau saya masih asyik bermain, ibu pasti sudah bersiap-siap memanggil. Seingat saya, ibu lebih sering memanggil baru kemudian saya berhenti bermain dan pulang, dibanding berhenti bermain dan pulang dengan kesadaran sendiri. (Nyadar, dulu kecil kadang "bandel" juga, hehe...) Saya tidak membayangkan kalau dulu, ibu tidak memberi "omelan sayang" dan membiarkan saja saya bermain. Mungkin saya tidak akan pernah bisa membaca Al Qur'an.
Oya, sedikit cerita tentang suasana mengaji saya. Biasanya sebelum masuk langgar, saya dan anak-anak yang lain kadang-kadang bersih-bersih santai sekitar mushola. Kalau sudah bersih, ya, kami tidak perlu bersih-bersih lagi. Begitu azan maghrib, kami masuk langgar dan melaksanakan sholat maghrib berjamaah dengan pengasuh atau pendidik langgar. Tempat mengaji saya dulu khusus anak-anak perempuan saja, jadi terpisah dengan anak laki-laki. Setelah sholat maghrib, kami mulai membaca Qur'an bersama-sama dan bergantian menemui pengasuh di depan untuk memeriksa bacaan. Selepas isya', setelah sholat, barulah kami pulang ke rumah masing-masing.

>>Larangan Mengucapkan Kata-kata Yang Buruk

Mengucapkan kata-kata buruk versi otang tua saya, seperti: kurang ajar, goblok, mesuh-mesuh serta mengucapkan kata-kata yang tabu untuk diucapkan, dan tidaklah kata-kata itu diucapkan melainkan saat orang bertengkar, sangat-sangat DILARANG. Kata-kata yang dilarang itu cukup biasa saya dengar dari tetangga sekitar rumah saat mereka bertengkar. (Maaf, tetangga saya dari suku di bagian timur Jawa ini kalau sudah bertengkar, banyak sekali mengeluarkan kata-kata "jorok".) Apalagi pertengkaran tetangga sekitar cukup sering terjadi. Mungkin karena hal itulah, larangan mengucapkan kata-kata buruk ini muncul. Dan kalau sampai kata-kata itu keluar dari mulut saya, disengaja atau tidak, setelah peringatan pertama, maka lomboklah yang akan mendarat di bibir dan mulut saya. No kompromi! Hehe, saya pun pernah merasakan lombok pedas itu mendarat di mulut saya. Walhasil, setelah dua atau tiga kali, saya jadi kapok. Alhamdulillah, saya merasa bersyukur, karenanya mulut saya jadi terjaga.

Itulah tiga hal yang paling ketat pemantauannya dari orang tua saya. Hal-hal lainnya masih ada, namun ketatnya tiga hal tersebut membuat saya belajar untuk hati-hati. Begitu ada isyarat "tidak boleh" dari orang tua, maka saya biasanya "mundur" perlahan, tidak memaksakan dirilah...  

Dari pengalaman yang saya rasakan waktu kecil, untuk hal-hal tertentu, mendidik dengan cara yang sedikit "keras" ternyata tidak terlalu buruk akibatnya. Namun sebaliknya, justru saya harus berterima kasih kepada orang tua saya. Karena dengan didikan "keras" merekalah, saya bisa terjaga dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak semua orang bisa melakukannya. Dan dengan didikan "keras" itu juga, saya menjadi disiplin.

Thursday, April 9, 2015

Semangat Pagi Menuju Hari Yang Ceria


Hmm, hari ini saya bangun kesiangan. Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Alamat, niat saya untuk menyiapkan sarapan anak-anak pagi ini bakal batal nih! (Hehe, gak mesti tiap hari saya nyiapain sarapan buat mereka, bagi tugas sama si ayah...) Rencana sih bangun jam 4, tapi dedek yang tidur siangnya kesorean, jam 10 malam bangun. And, jam setengah dua-an baru tidur lagi. Oh, no!

Setelah selesai dengan ritual rutin pagi, saya langsung ke dapur. Pertama yang saya lakukan adalah adang alias memasak nasi.(Pake rice cooker sih!) Sambil menunggu nasi matang, dengan dibantu Zahra, saya menggarap pisang. Seperti biasa, diolah mengikuti selera anak-anak. Pisang dicelup terigu, dibalur tepung roti, lalu goreeeng. Hasilnya, disiram susu kental manis, lalu ditaburi keju parut. Selesai! Lumayan buat sarapan anak-anak. Sebagian lagi saya beri mesis buat si ayah yang suka manis. 

tampilannya biasa, tapi anak-anak suka.


Zahra yang suka sayur, minta digorengin kembang kol sekalian. Ok-lah! Kembang kol sudah siap, tinggal siapin telor kocok dan tepung berbumbu. Langsung goreeeng.

Dalam waktu bersamaan, nasi matang. Masih jam 06.20, ada cukup waktu buat nyiapin pelengkap nasi. Sementara anak-anak sudah memulai sarapannya dengan pisang bertabur keju. Saya menawarkan nasi goreng kepada mereka, yang langsung disambut dengan 2 jempol Zahra. Sudah makan pisang, mau makan nasi juga??? Biasalah, weteng jowo alias perutnya orang Jawa, kalau belum terisi nasi sama dengan belum makan. Begitu ajaran dari ayahnya (piss ayah...), yang tentu saja menular kepada anak-anak, terutama Zahra. Sementara kakaknya, seperti biasa, hanya tersenyum, dan terkadang sambil bilang, "Iya-iya..." Memang si kakak malas makan, asal perut sudah terisi sesuatu, berarti sudah makan. Pandangan yang tidak jauh berbeda dengan bundanya, hehe...

Dengan bawang prei, telor dan udang, saya siap mengubah nasi putih menjadi nasi goreng seafood. Beberapa menit kemudian, nasi goreng seafood sudah siap. Tapi jam sudah mendekati angka 7, waktunya mereka berangkat. Jadi, nasi goreng buat bekal ke sekolah saja. Kan, sudah sarapan pisang goreng? Cukuplah untuk memberi makan cacing-cacing di perut. Haha...

nasi goreng simple,
udang dibiarkan utuh karena ada yang kurang suka

Kakaknya minta agar tidak dimasukin udang dalam bekal nasgor-nya. (Dia memang tidak suka udang.) Sementara itu, Zahra menolak membawa nasi goreng, karena hari ini juga bukan waktunya membawa makanan berat. Tapi dia minta untuk membawa kembang kol gorengnya sebagai bekal. Dan nasi goreng jatahnya akan dia makan nanti sepulang sekolah. It's ok! Saya senang dan semangat pagi ini, karena mereka berdua berangkat ke sekolah dengan riang sambil membawa bekal kesukaannya masing-masing.


Saturday, January 17, 2015

Berhenti Minum ASI


          Saya punya empat orang anak. Masing-masing dari mereka memiliki masa yang berbeda dalam mengkonsumsi ASI (Air Susu Ibu). Mereka juga memiliki ceritanya masing-masing tentang cara dan proses yang mereka lalui sampai berhenti dari minum ASI. Berikut ulasannya:

Anak Pertama

          Sejak awal kelahirannya, anak laki-laki pertama saya alias si sulung, sudah biasa saya sambung dengan susu formula. Langkah ini diambil karena saat si sulung lahir, kuliah saya belum kelar. Jadi saya masih harus wira-wiri ke kampus untuk menyelesaikan skripsi. Tapi pada trimester pertama, pemberian susu formula cukup jarang dilakukan. (Note: saya masih belum terlalu paham tentang betapa PENTING-nya ASI ekslusif ya, hehe...)
          Agar penjagaan si sulung lebih mudah dan lebih aman selama saya tinggal ke kampus, sejak usia tiga bulan, saya mengajak si sulung tinggal bersama mbahnya. Dalam sepekan, biasanya akan saya tinggal ke kampus selama satu sampai dua hari. Nah, pemberian susu formula sangat membantu sekali saat si sulung ini saya tinggal.
          Empat bulan berikutnya, skripsi saya selesai. Saya tinggal menunggu pemberkasan akhir dan wisuda. Namun di saat yang sama saya memutuskan untuk bekerja. Karena lokasi tempat kerja yang jauh, daripada dititipkan pembantu, saya putuskan untuk meninggalkan si sulung bersama mbahnya saja. (Duh... Maafkan bunda, ya, Nak???) Sehingga tepat di usia 8 bulan, si sulung sudah benar-benar stop minum ASI. (Ini yang namanya anak jadi korban ibu bekerja, ah, sedihnya...)
          Jadi, tidak sulit bagi si sulung untuk melepas ASI, karena dia sudah terbiasa melewati masa-masa tanpa ASI. Selanjutnya, si sulung mengkonsumsi susu formula dengan menggunakan dot, sebagai pengganti 'nenen'-nya.

Anak Kedua

          Anak kedua, perempuan, adalah yang paling lama minum ASI, yaitu selama 30 bulan atau 2,5 tahun. Anak kedua sudah tidak saya beri susu formula alias full ASI, karena saya tidak sedang kuliah dan juga sudah tidak bekerja. Namun di sela-sela minum ASI, saya memberinya madu dengan menggunakan dot.
          Ada beberapa faktor yang membuat saya membiarkan dia netek selama itu. Anak kedua saya ini telat jalan dan bicaranya. Dia baru bisa berjalan pada usia 18 bulan. Hingga saya sapih, belum keluar sepatah pun kata dari mulutnya. Tapi saya tidak terlalu khawatir, karena dia masih bisa menangis dan bisa mendengar. Saat saya ajak bicara dia selalu merespon dengan tindakan, misalnya dengan menoleh atau memandangi saya. Saya terus mengajaknya bicara dan memperkenalkan berbagai hal kepadanya. Sehingga dia bisa mengerjakan dengan benar apa yang saya suruhkan kepadanya, meski dia tidak bicara. Dan ketika sudah bisa bicara, dia sudah mengenal banyak warna, mengenal bagian-bagian tubuhnya, mengenal angka dan hal-hal lain yang sudah saya kenalkan kepadanya.
          Karena jarak yang tidak terlalu jauh, saat suami libur, saya sering mengajak anak-anak berkunjung ke tempat mbahnya. Dekatnya si sulung dengan mbahnya, membuat adiknya ikut nyaman tinggal di tempat si mbah. Saat libur semester, si sulung banyak menghabiskannya di tempat mbahnya. Saya pun menjadikan momen libur semester untuk menyapih si adik yang sudah 2,5 tahun. Yaitu dengan meninggalkan anak kedua saya bersama si sulung di tempat mbahnya selama 2 minggu. Bisa ditebak, setelah 2 minggu si adik sudah tidak mau lagi minum ASI. Nah, ketika di tempat mbahnya, kalau dia ingin netek biasanya akan dialihkan perhatiannya ke hal-hal yang lain, seperti dengan mengajaknya bermain atau menggendongnya.
          Jadi, anak kedua saya melalui proses penyapihan dengan dipisah dari saya selama lebih kurang 2 minggu. Dengan bekal madu dan dot, serta banyaknya orang-orang yang menemaninya selama di tempat mbahnya, membuat proses penyapihan berjalan dengan lancar...

Anak Ketiga

          Anak ketiga saya, perempuan juga, mendapat asupan ASI tepat selama 2 tahun penuh. Anak ketiga saya sudah bisa berjalan di usia 11 bulan dan sudah lancar bicara menjelang usia 2 tahun. Sehingga pada proses penyapihan bisa saya komunikasikan secara mudah dengan dia.
          Saat proses menyapih anak ketiga, saya hanya melibatkan ayahnya. Cara yang saya gunakan untuk menghentikannya minum ASI adalah dengan mengoleskan jintan hitam atau habbatus sauda pada payudara saya setiap kali dia minta mimik. Kemampuannya berbicara memudahkan dia mengungkapkan apa yang dirasakannya. Dalam dua hari dia sudah tidak mau mimik lagi, katanya karena mimiknya terasa pedas. Dan secara psikologis, dia terlihat biasa saja setelah saya stop minum ASI. Dia tetap beraktivitas seperti biasa, dan dia juga bisa tidur dengan mudah, cukup dengan membacakannya cerita, dia akan dengan mudah bisa tidur.
          Anak ketiga saya juga menggunakan madu sebagai teman ASI. Namun bedanya dengan anak kedua, anak ketiga saya tidak menggunakan dot. Setelah disapih, dia jadi lebih banyak minum madu. Saya juga mengenalkannya dengan susu segar dan susu kedelai sebagai pengganti asupan ASI-nya.

Anak Keempat

          Nah, pada anak keempat atau si adek, laki-laki, saya "sedikit" merasa ada kendala saat menyapihnya. Saat usianya hampir 2 tahun, saya sempat bingung bagaimana cara menyapihnya. Bukan karena faktor dengan apa menyapih, tapi lebih karena saya merasa bahwa dia belum siap untuk disapih. Saya pernah mencobanya dengan habbatus sauda saat usianya tepat 2 tahun. Namun karena setiap mau tidur dia selalu menangis, dan rekan saya selama proses menyapih, yaitu si ayah, tidak sanggup mengatasinya, jadilah dia mimik lagi.
          Ide si ayah untuk menitipkan si adek di mbahnya, bukanlah ide yang baik menurut saya. Karena tempat tinggal kami sudah tidak lagi dekat dengan rumah si mbah. Selain itu, setiap bangun tidur, si adek selalu menangis mencari saya dan baru berhenti setelah saya menggendongnya.
          Pada usia 27 bulan, saya kembali mencoba untuk menyapihnya, dan kali ini menggunakan minyak kayu putih. Kuatnya keinginan untuk mimik membuat si adek tidak kehilangan akal, sementara waktu dia menolak, tapi akan mencoba mimik lagi beberapa saat kemudian. Dan kalau pada percobaan keduanya itu dia masih mendapati rasa atau aroma kayu putih, dia akan menangis dan baru berhenti setelah mimik. Usaha kedua pun kembali menemui kegagalan.
          Akhirnya, sementara waktu saya memutuskan untuk menunda penyapihannya. Namun dari perjalanan liburan selama 2 minggu, saya merasa perlu untuk kembali mencobanya. Masih dengan cara yang sama, tapi prosesnya dilakukan selama perjalanan kembali dari berlibur yang memakan waktu hampir 2 X 24 jam dengan mobil. Cairan yang saya gunakan kali ini adalah fresh***. Saya juga harus lebih sigap mengoleskan cairan itu pada setiap sebelum si adek minta mimik.
          Kesempatan dalam perjalanan ini saya manfaatkan karena biasanya kalau di jalan si adek jarang mimik. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan menikmati perjalanan, dan cukup dengan dipangku saja dia sudah bisa tertidur. Dan setiba di rumah, setelah 2 X 24 jam, mencium aroma cairan di baju saja, si adek sudah tidak jadi mimik. Dalam sepekan pertama setelah disapih, kadang-kadang si adek juga menangis, tapi tidak seheboh tangisan dua hari pertama pada percobaan pertama.

          Nah, bagaimana cara Anda saat akan menyapih sang buah hati???

Tuesday, November 4, 2014

Nikmat di Balik Musibah

"Tidaklah Allah memberi ketetapan pada kita, melainkan ketetapan itu pastilah yang terbaik untuk kita."

       Bagi saya, ungkapan itu bukan ungkapan sederhana. Mungkin mudah untuk memahami maksudnya, namun setiap kali ketetapan Allah datang menghampiri saya, selalu saja memunculkan respon yang sedikit berbeda pada awalnya. Meskipun pada akhirnya saya bisa menerima ketetapan itu dan mengembalikan semuanya hanya pada Allah. Karena itulah, saya tidak berhenti untuk selalu mengingat ungkapan itu dan terus menerus menanamkan keyakinan di dalam hati, bahwa setiap ketetapan Allah buat saya, pastilah baik buat saya.
       Begitu pula halnya saat saya dan suami mengalami kejadian yang di luar kuasa kami sekitar dua bulan yang lalu. Kala itu kami dalam perjalanan kembali dari Malang menuju Jakarta. Di tengah perjalanan, karena rasa lelah dan kantuk yang tidak dapat ditahan, suami memilih berhenti untuk istirahat. Saya yang memang sudah lebih dulu terlelap beberapa saat sebelum berhenti, dalam keadaan setengah tersadar sempat bangun, namun akhirnya tidur lagi. Sementara suami saya, sudah bisa dipastikan dia tidur, karena memang berhenti tujuannya untuk tidur.
       Beberapa saat kemudian saya terbangun. Dan entah secara tiba-tiba perasaan tidak enak muncul sembari saya langsung membangunkan suami dan menanyakan dimana handphone-nya. Setelah dicari tidak juga ditemukan, saya pun menanyakan dimana dompetnya. Tidak biasanya, dompet itu justru ada di depan saya, dan benar saja, uangnya sudah tidak ada. Alhamdulillah, semua kartu masih lengkap, meski uang yang tidak seberapa itu hilang, karena memang suami jarang bawa uang banyak. Biasa, saya bendaharanya. Jadi saya yang pegang uang. Kalau suami butuh membeli sesuatu, tinggal minta ke saya. Dan HP yang raib juga HP jadul yang chasing-nya terdiri dari tiga unsur. Body bawaan HP yang asli, keypad dan bagian belakang berasal dari HP saya yang sudah rusak namun satu tipe, dan bagian depan adalah chasing hasil beli yang bagian lainnya sudah rusak. (Hehe..., komplit rusaknya, dijamin nyesel deh yang ngambil...)
       Setelah beberapa saat terdiam dan tidak habis pikir peristiwa itu bisa terjadi, mengingat kami berhenti di sebuah pom bensin, saya minta suami untuk mengecek tas yang ada di jok belakang. Setelah jok belakang di-ubek-ubek sampai ke bawah, ternyata tas suami raib, tentu saja bersama seluruh isinya. Di dalamnya ada laptop (yang batray-nya bermasalah), alat tulis suami untuk mengajar, dan satu set pakaian suami, lengkap dari luar sampai dalam. Tapi alhamdulillah..., mungkin karena tampangnya yang lusuh dan bagian luarnya terdapat tulisan Pondok Pesantren Ibnu Abbas (tas itu memang dari PPIA ketika anak saya ikut PPDB di sana), tas yang berisi barang-barang saya tidak dibawa. Padahal isinya juga laptop (malah lebih bagus dari milik suami), dan ada kamera digital. Dompet saya yang berada di tengah, di sisi hand rem dan tidak sengaja tertutupi sweater suami, juga masih ditakdirkan tetap menjadi milik kami. Begitu juga tablet saya yang sebelum kejadian saya simpan di dashboard, mungkin juga belum waktunya pindah tangan. SubhanAllah...
       Adakah yang tidak harus kami syukuri? Rasanya terlalu banyak nikmat yang Allah berikan dibalik peristiwa itu. Nikmat paling besar yang kami rasakan adalah, dua anak kami yang tertidur lelap di kursi tengah masih Allah percayakan untuk berada dalam pengasuhan kami. Kami menganggap peristiwa itu sebagai pengingat agar kami mau (kembali) berbagi dengan sesama, dan lebih hati-hati dalam menjaga amanah yang Allah titipkan pada kami. Dan kami juga menganggap bahwa segala sesuatu yang hilang dan terlewat dari kami, mungkin sejatinya memang bukan ditetapkan untuk diamanahkan kepada kami. Insya Allah ada orang lain yang lebih amanah dan lebih bisa menjaga barang-barang itu.
       Dan bagi saya pribadi, dengan hilangnya laptop suami, maka saya harus mengikhlashkan laptop saya sementara waktu dipakai oleh suami sampai suami bisa membeli laptop yang baru. Belum bisa dipastikan kapan, karena masih banyak kebutuhan lain yang perlu diprioritaskan. Alhasil waktu yang biasanya saya habiskan di depan laptop jadi berkurang. Karena saya hanya bisa menggunakan laptop itu di atas jam 10 malam atau pada hari minggu saja. Sementara di hari-hari biasa hanya bisa digunakan pas suami tidak mengajar atau laptop sedang tidak dibutuhkan oleh suami (seperti saat ini). Sehingga waktu-waktu yang biasa saya habiskan di depan laptop bisa saya manfaatkan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah yang tertunda penyelesaiannya, seperti menyetrika. Saya juga bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama anak-anak. Alhamdulillah...
       SubhanAllah, ternyata dari kejadian yang "kurang menyenangkan" itu, masih ada nikmat yang bisa kita rasakan, dan dari setiap peristiwa yang Allah tetapkan bagi kita pasti ada hikmah di baliknya. Jadi, tetaplah bersyukur dengan semua keadaan yang Allah tetapkan bagi kita.

Tuesday, August 26, 2014

Syeikh Muhammad, Zawjiy and Si Bungsu


Saking semangatnya pingin motret buat kenang-kenangan pernah bertemu Syeikh Muhammad, saya sampai lupa tidak minta dipotret bersama istri beliau kepada suami. Padahal pertemuan ini bermula saat saya dan istri beliau sama-sama lagi duduk-duduk di dekat pintu keluar Batu Secreet Zoo, areal Jatim Park 2. Kami duduknya jejer dan cukup dekat.
Di awal pertemuan, beberapa saat kami sama-sama diam. Kemudian saya melempar senyum, dan kami saling memberi salam. Tapi, setelah itu saya bingung mau bilang apa. Mengingat, saya belum bisa bahasa arab, dan bahasa inggris juga masih pas-pas-an. (Huhu..., balada ibu yang cuma bisa ber-bahasa indonesia, itu saja masih banyak melanggar EYD! Hehe...)
Setelah kembali terdiam beberapa saat, keluar juga sapaan dari mulut saya, "Eee, where do you come from?". (Kalau ingat kejadian ini, saya masih ingin ketawa sendiri, ini orang Arab sono, ditegurnya pakai bahasa inggris? Haha, gak salah tuh?)
Dan istri beliau menjawab, "...Riyadh", yang kemudian disambung dengan pertanyaan berbahasa arab, blablabla..., panjang banget.
Buru-buru saya jawab, "Afwan, laa adri...", sambil senyum-senyum.
Selanjutnya, kami terus berbincang-bincang, tentu saja menggunakan 4 bahasa yang saya tahu (bukan kuasai lho, ya!). Yaitu Indo, Arab, Inggris plus bahasa isyarat, karena istri beliau juga pas-pas-an bahasa inggrisnya. Kebayang kan, bagaimana jadinya? (Hehe..., kayak gado-gado...) Maka dari itu, judul cerita ini pun saya tulis dalam tiga bahasa.
Namun, keterbatasan bahasa yang “kami” (saya aja kalee...) miliki, tidak menghalangi kami untuk ngobrol lebih banyak. Dari obrolan “terbatas” itu saya jadi tahu, kalau kami sama-sama sedang menunggu suami masing-masing yang lagi sholat  ashar, tapi istri beliau tidak tahu kalau saya juga sedang menunggu suami saya.
Lalu suami saya datang, dan saya ceritakan kepadanya tentang wanita berpakaian serba hitam dan bercadar yang ada di sebelah saya.
 “Ooo, berarti yang ngimami sholat ashar di musholla itu..., tapi ayah sudah selesai, beliau (Syeikh Muhammad) baru datang.”, kata suami saya.
Tidak heran kalau orang-orang meminta beliau jadi imam sholat, lihat saja penampilan beliau di foto itu. Dan memang, kedatangan beliau ke sini (Indonesia), dalam rangka menjadi imam sholat tarawih di salah satu mesjid di daerah Puncak Dieng, Malang. Beberapa mesjid di Malang memang sudah biasa mendatangkan ulama-ulama dari luar saat ramadhan tiba, seperti dari Mekah, Yaman dan Palestina. Ada yang hanya beberapa hari, tapi ada juga yang sampai satu bulan penuh. Eh, back to my story...
Beberapa saat kemudian, Syeikh Muhammad muncul, dan langsung berbicara dengan istri beliau. Setelah memberi salam, suami berjabat tangan dengan beliau, dan berpelukan... (Kebiasaan orang arab nih, apalagi sesama muslim.) Lalu dimulailah obrolan antara saya, suami saya, Syeikh Muhammad dan istri beliau.
Sambil menunjuk Zangi, anak saya yang bungsu, Syeikh Muhammad bertanya dalam bahasa arab kepada suami, apakah anak itu putranya? (Ya, nyebut-nyebut ibnu-ibnu gitu...)
Saya jawab, “Na’am, huwa ibnu Amin”, dengan cukup pe-de. Karena saya “kebetulan” ngerti apa yang ditanyakan dan tahu mesti jawab apa.
Lalu beliau menanyakan, apakah saya juga putrinya?
Haha, saya menahan tawa dan segera menjawab, “La, la, huwa zawjiy...” Sambil mikir juga sih, hehe. Semuda itukah saya, sampai dikira anak dari suami sendiri. (Benerin kerudung dulu deh, biar tambah kelihatan lebih muda gitu lho...)
Obrolan berlanjut... Beliau pun menanyakan anak saya semua berapa? Yang lain sekarang dimana? Bersama siapa? Macam-macam deh. Sampai menanyakan maksud dari sms berbahasa indonesia yang dikirim oleh seseorang ke HP beliau. Suami sih senyum-senyum saja. Kalau bahasa arab, ya, lumayan lebih bisa saya lah (dikit...) daripada suami. (Hehe, maaf ya sayang..., setelah ini kita belajar bahasa arab sama-sama, yuk? Kesempatan buat ngerayu nih, biar dibolehin ikut kursus bahasa arab.)
Pas suami lagi pergi, karena mengikuti si bungsu yang berlarian kesana kemari, Syeikh Muhammad pergi ke sebuah kedai tidak jauh dari tempat kami. Kemudian beliau kembali dengan membawa 4 gelas plastik jus jeruk, 2 untuk beliau dan istri, yang 2 lagi untuk saya dan suami.
Jadi ingat, betapa luar biasanya orang arab kalau sedang menyambut tamu. Seolah pantang bagi mereka tamunya tidak mendapati apa-apa saat berkunjung ke rumahnya. Ini kami hanya bertemu di tempat umum, Syeikh Muhammad sudah membelikan kami jus jeruk. Bagaimana kalau saya berkunjung ke rumah beliau ya...? (Haha, ngarep.) Mestinya kan saya yang melayani beliau, karena beliau tamu di sini (Indonesia), dan saya adalah tuan rumahnya. Jadi malu... (Hihi..., tutup muka pake apa ya?)
Setelah kami sama-sama minum jus jeruk, dari kejauhan terlihat rombongan Syeikh Muhammad yang lain. Maka beliau dan istri pun pamit, dan memberi salam pada kami. Kami menjawab salam beliau dan menutup dengan satu kata pamungkas, “Jazakumullah khoir, ya Syeikh...” Beliau dan istri pun tersenyum sembari berlalu dari hadapan kami.
Sungguh pertemuan yang berkesan buat kami. Kami tidak mungkin bisa “ngobrol” banyak dengan Syeikh Muhammad, meski kami bisa bertemu beliau di masjid setiap malam selama ramadhan. Karena urusan dan suasananya jelas berbeda, ditambah kami tidak bisa bahasa arab untuk mengajak beliau ngobrol. Alhamdulillah, semoga Allah meridhoi pertemuan ini, dan semoga lain waktu kami dipertemukan kembali dalam suasana yang penuh dengan keimanan. Dan yang tidak kalah penting, semoga saat itu tiba, saya sudah lancar berbicara dalam bahasa arab. Aamiin...
 



Friday, August 22, 2014

Menanti Seulas Senyum di Pintu Tol


Oleh-oleh Liburan #2

            Jalan tol, menjadi jalur pilihan kami saat bepergian jauh dari dan ke kota Tangsel, terutama dalam perjalanan rutin kami menjenguk anak-anak yang mondok di daerah Klaten dan Sukoharjo. Begitu juga dengan perjalanan mudik pertama kami dari Tangsel menuju Malang. Jalan tol menjadi pilihan kami agar bisa berkendara dengan lebih nyaman dan leluasa, karena di jalan tol tidak ada sepeda motor yang kadang-kadang beberapa pengendaranya menggunakan jalan “seenaknya”.
Dengan melewati beberapa jalan tol yang berada di jalur pantura, juga terbukti membuat perjalanan kami menuju Klaten dan Sukoharjo menjadi lebih cepat. Kami bisa membandingkan lamanya perjalanan yang kami tempuh, karena kami sudah pernah melewati hampir semua jalur yang bisa dilewati untuk menuju Klaten dari kota Tangsel. Pertama kali menuju Klaten, kami malah melewati jalur selatan, dan sama sekali tidak melewati jalan tol. Perjalanan yang kami rasakan sangat jauh dan melelahkan. Kisah perjalanan pertama kami bisa dilihat di sini.
Pintu tol pertama yang kami lewati saat akan meninggalkan kota Tangsel menuju Malang adalah pintu tol yang berada di Pondok Indah dan keluar di pintu tol Cikampek. Lalu kami akan melewati tol lagi di daerah Palimanan, Cirebon hingga Pejagan, dan tol yang ada di daerah Semarang, mulai dari pintu tol Krapyak hingga pintu tol Bawen. Untuk bisa lewat jalan tol, kita punya kewajiban membayar biaya masuk tol, yang tarifnya berbeda di tiap-tiap jalan tol. Dari yang (menurut kami) cukup murah, hingga yang sangat mahal. Ukuran murah dan mahal bukan hanya kami nilai dari nominal rupiah saja, tapi juga dari jarak dan kualitas jalan tol yang kami lalui.
Membayar biaya masuk tol, lazimnya yang melakukan adalah suami, sebagai pengemudi. Namun, anak ke-3 kami yang aktif, pernah minta agar dia yang menyerahkan uang kepada petugas pintu tol. Dan sejak saat itu, apa yang dilakukannya mulai menjadi kebiasaan yang tidak hanya dilakukan oleh dia, tapi juga oleh anak-anak kami yang lain, termasuk si bungsu. Apa yang dilakukan anak-anak, selalu menjadi perhatian saya. Momen membayar biaya masuk tol menjadi kesempatan saya untuk mengajarkan anak-anak agar ramah dan memberikan senyuman saat berinteraksi dengan orang lain, termasuk saat akan menyerahkan uang kepada petugas pintu tol. Tidak lupa juga, ucapan terima kasih saat petugas menyerahkan struk pembayaran tarif tol kepada mereka.
Akan tetapi, perhatian saya tidak hanya tertuju kepada anak-anak, melainkan juga kepada petugas pintu tol yang sedang bertugas saat itu. Saat transaksi dilakukan, ada hal-hal yang menarik untuk saya perhatikan. Yaitu ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh petugas pintu tol ketika anak-anak menyerahkan sejumlah uang kepada mereka. Reaksi mereka juga berbeda-beda saat melihat anak-anak. Yang itu membuat saya tidak pernah melewatkan saat anak-anak akan membayar uang masuk tol.
Ada petugas yang begitu antusias menerima uang dari tangan anak-anak, lalu menyerahkan struk pembayaran sembari mengucapkan terima kasih dengan begitu manis. Kami pernah mendapati seorang petugas perempuan yang menyambut si bungsu dengan senyumnya yang manis. Saat akan menyodorkan uang, ternyata yang maju hanya tangannya saja, karena uangnya terjatuh sebelum tangan si bungsu keluar dari jendela mobil. Melihat wajah si bungsu yang bingung karena uangnya tidak ada di tangan, petugas itu terlihat menahan tawa. Begitu si bungsu bilang, “Lho...!” (karena uang tidak ada), petugas tersebut tidak lagi bisa menahan tawanya. Kami pun ikut tertawa. Namun, ada juga yang menerima uang dan menyerahkan struk tanpa ekspresi sama sekali, begitu dingin.
Sebagian besar dari mereka memang menunjukkan senyum manis saat tangan-tangan mungil anak-anak itu memberikan sejumlah uang. Hanya sedikit dari mereka yang menunjukkan wajah tanpa senyum dan tanpa ekspresi. Ternyata, bagi sebagian orang, senyum masih menjadi sesuatu yang sulit dilakukan, meski yang mereka hadapi adalah anak-anak. Tapi, alhamdulillah, karena yang menunjukkan senyum masih lebih banyak daripada yang tidak. Melihat orang lain tersenyum dan membalas senyum yang kita berikan, pasti memberi rasa bahagia buat kita. Karenanya, kami pun mencoba untuk selalu memberi senyuman, sekaligus menanti seulas senyum saat berada di pintu tol.

Wednesday, August 13, 2014

Perjalanan Pertama Dari dan Ke Tangerang Selatan



Ini tentang perjalanan jauh pertama kami sejak tinggal di Tangerang Selatan. Sebagai penduduk baru di Tangsel, saat itu kami belum terlalu mengenal jalan-jalan yang harus ditempuh untuk masuk dan keluar dari Jakarta maupun Tangsel. Padahal sekitar 1 atau 2 bulan sekali kami harus meninggalkan Tangsel untuk menjenguk dua anak kami yang tinggal di pesantren. Yang satu di Klaten dan satu lagi di Sukoharjo. Perjalanan pertama ini dalam rangka menjenguk mereka.
Pertama kali meninggalkan Tangsel, kami memilih jalur selatan, yaitu via Bogor, Bandung, Garut, Tasik, Purwokerto dan Jogja. Jalur itu kami pilih setelah melihat peta di Google Map. Yang menurut perkiraan kami, jarak yang ditempuh melalui jalur selatan lebih pendek dibandingkan jalur utara. Karena masih pertama, jauhnya jarak dan lamanya waktu yang kami butuhkan untuk sampai di Klaten, kami anggap hal yang biasa. Jadi, kembali ke Tangsel, kami tetap melalui jalur selatan.
Dalam perjalanan kembali, sepanjang jalan dari Jogja kami banyak melihat mobil plat B juga melalui jalan yang sama. Dugaan kami, mereka menuju Jakarta. Jadi, kami bisa mengikuti mobil-mobil itu menuju Jakarta, karena jarak Tangsel dengan Jakarta Selatan cukup dekat. Namun, begitu sampai daerah Purwokerto, sekitar daerah Wangon, kami perhatikan, sudah tidak banyak lagi mobil plat B yang lewat. Kami berpikir, pasti mereka melalui jalan lain yang tentunya lebih cepat dan lebih dekat menuju Jakarta. Akan tetapi, kami tetap memilih untuk meneruskan perjalanan via jalur selatan.
Perjalanan pertama kami yang bersamaan dengan libur panjang Idul Adha (tahun lalu), membuat lalulintas padat merayap. Melalui jalur selatan yang hanya dua lajur, kanan dan kiri, membutuhkan kesabaran ekstra dalam berkendara. Jalannya yang kebanyakan berkelok-kelok juga perlu kehati-hatian dan konsentrasi yang tinggi. Terutama ketika melalui jalan lingkar Nagrek. Jalan yang sebelumnya hanya kami ketahui dari berita televisi saat musim mudik. Beberapa mobil terpaksa berhenti karena mengalami gosong pada kampas kopling. Alhamdulillah, suami sudah pernah mengalami waktu masih di Malang. Jadi bisa mengantisipasi untuk tidak mengalami hal yang sama.
Sebelum sampai di Bandung, kami memutuskan untuk lewat tol Cipularang saja, yaitu tol yang menghubungkan Bandung dan Jakarta, dan tidak lagi lewat Bogor. Dengan pertimbangan, lewat tol bisa lebih nyaman, lebih lapang dan tidak ada sepeda motor, sehingga bisa memacu kendaraan lebih cepat. Namun tetap saja, jarak tempuh tol sekitar 150 km itu adalah jarak yang jauh dan cukup melelahkan.
Sebelum masuk tol, suami sempat menanyakan pada beberapa orang, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai di Jakarta. Dan yang tidak kalah penting, menanyakan di mana kami harus keluar nanti kalau kami ingin menuju Tangsel. Kami mendapat dua kata kunci, yaitu Cikunir dan Kampung Rambutan. Jadilah sampai di pintu tol Cikunir, kami keluar, yang ternyata masih daerah Bekasi. Kami pun bertanya lagi, bagaimana cara untuk sampai di Tangsel. Kami disarankan untuk masuk tol lagi, yang untuk menemukan pintu masuknya, kami sangat kesulitan. (Tablet Advan belum di tangan, No GPS, cuma bisa tanya-tanya saja!)
Jadilah, perjalanan masuk Jakarta yang dikemudikan sendiri oleh suami, sebagai perjalanan yang panjang. Kami sempat keluar masuk tol beberapa kali, bahkan keluar dan masuk di jalan tol yang sama. Setiap lewat pintu tol, kami selalu bertanya kepada petugas tol, dimana kami harus keluar untuk bisa sampai di Tangsel. Seingat saya, jawaban yang mereka berikan tidak sama, sehingga sempat membuat kami bingung. Sampai akhirnya kami masuk tol yang menuju Serpong, dan petugas menyuruh kami keluar di Lebak Bulus. Kami pun lega, karena kami sudah sedikit mengenal daerah Lebak Bulus, yang berarti jarak rumah sudah cukup dekat.

Alhamdulillah..., akhirnya sampai juga kami kembali ke Pamulang, Tangsel. Benar-benar perjalanan panjang yang melelahkan, terutama bagi suami yang menyetir sendiri kendaraan kami, tanpa ada yang menggantikan. Namun, dari perjalanan itu kami bisa tahu daerah-daerah yang harus dilalui via jalur selatan, yang hingga saat ini belum pernah kami lalui lagi. Karena ternyata, lewat jalur pantura, terasa lebih dekat, lebih mudah dan lebih nyaman. Lebih dekat jaraknya, yaitu melalui Cikampek menuju Semarang, lalu ke tempat yang akan kami tuju, yaitu Klaten dan Sukoharjo. Lebih mudah, karena jalannya yang relatif lurus, alias tidak banyak berkelok. Dan lebih nyaman, karena jalannya lebar, dengan masing-masing ruas ada dua lajur.



ini adalah salah satu tempat peristirahatan di tol Pejagan yang biasa kami kunjungi