Showing posts with label My Story. Show all posts
Showing posts with label My Story. Show all posts

Saturday, November 3, 2018

Kembali Dengan Kalimat Laa Ilaaha Illallah Muhammadar Rasulullah


Laailaaha illallah Muhammadar rasulullah

Satu kalimat yang merupakan kunci keislaman seseorang, pembeda antara mukmin dan kafir. Satu kalimat di mana seorang muslim sejati tidak hanya ingin hidup tapi juga ingin mati di atas kalimat itu.

Beberapa waktu yang lalu, negeri mayoritas muslim sekaligus negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini dihebohkan dengan pembakaran bendera tauhid. Yakni sebuah bendera yang di atasnya tertulis kalimat tauhid, laa ilaaha illallah muhammadar rasulullah.

Mendengar berita itu, saya sebagai muslim yang baru beberapa hari sebelumnya ditinggal suami berpulang ke pangkuan Ilahi, saat itu hanya bisa menggelengkan kepala lemah. Ada rasa kesal, marah, heran, aneh, gak habis pikir, melongo, gak percaya, dan berbagai perasaan yang entah saya sendiri bingung mana yang harus saya tunjukkan kepada mereka yang telah melakukan pembakaran. Tidak lain alasannya adalah karena informasi yang saya dapatkan mengabarkan bahwa pelakunya nota bene juga muslim. Tidak mengertikah mereka (para pembakar bendera itu) akan bendera dan panji Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?

Saya hanyalah satu dari sekian orang yang merasa bangga dengan lambang bendera tauhid. Saya bersyukur Allah memberi kesempatan pada saya untuk mengenal kalimat yang memang sejak pertama kali hadir di dunia, ayah saya sudah memperdengarkannya kepada saya sebelum kalimat-kalimat lainnya. Lantunan adzan suami saya -yang di dalamnya terkandung kalimat tahuhid itu- juga menjadi kalimat pembuka yang pertama kali diperdengarkan sangat dekat dengan telinga lima orang putra-putri saya. 

Sebuah kesaksian yang secara formal kami (saya dan suami sebagai orang tua) buktikan kepada Allah sebagai kewajiban pertama dan utama dalam mengenalkan anak keturunan kami kepada Robb-nya, Allah Sang Kholiq, Yang Maha Menciptakan mereka. Sebuah pengajaran tauhid yang memang menjadi fitrah setiap makhluk sejak mereka masih berupa nutfah. Sebagaimana firman-Nya:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini," atau agar kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya nenek moyang kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami adalah keturunan (yang datang) setelah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang (dahulu) yang sesat?""
(QS. Al A'raf: 172-173)

Ya, sejak masih dikeluarkan dari sulbi, setiap kita sudah memberikan pernyataan kesaksian akan keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dan kesaksian akan pengakuan penghambaan kita sebagai makhluk bahwa hanya Allah-lah sesembahan kita, bukan yang lainnya. Maka ritual pengumandangan adzan kepada bayi yang baru dilahirkan menjadi pengingat akan kesaksian tersebut dan tunailah satu kewajiban pertama sebagai orang tua terhadap anak keturunannya. Setelah itu dilanjutkan dengan tugas berikutnya, yaitu mendidik dan mengajarkan anak-anak sesuai fitrahnya yang berlandaskan pada ketauhidan. Wujud dari ketauhidan itu adalah dengan menjadi sebenar-benar hamba yang beribadah hanya kepada Allah semata. Sebagaimana firman-Nya:

"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
(QS. Adz Dzariyat: 56)

Sungguh, menjalankan kehidupan dengan tetap istiqomah untuk beribadah hanya kepada Allah semata itu bukanlah hal yang mudah. Ada banyak sekali rintangan menghadang, baik dari setan yang memang menjadi musuh nyata bagi manusia, maupun rintangan yang datang dari setan berwujud manusia. Bahkan meski jelas bagi kita bahwa suatu amal perbuatan itu bisa mengantarkan kita kepada surganya atau nerakanya Allah, masih banyak manusia yang lalai dan tertipu oleh tipu daya setan yang memang selalu ingin menyesatkan manusia.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Surga itu diliputi perkara-perkara yang dibenci (oleh jiwa) dan neraka itu diliputi perkara-perkara yang disukai syahwat." (HR. Muslim)

Akan tetapi, selama hayat masih dikandung badan, kesempatan untuk selalu kembali kepada jalan yang disediakan Allah akan selalu ada. Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang akan selalu memberikan ampunan kepada siapa saja yang memohon ampunan kepada-Nya, kecuali saat nafas sudah tersisa di tenggorokan dan kematian sudah sangat dekat. Itulah kenapa tidak menunda-nunda waktu untuk bertaubat dari semua dosa dan kesalahan kepada Allah sangat diperlukan. Yaitu agar kita bisa kembali menghadap Allah dalam keadaan berserah diri hanya kepada Allah saja dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun (bertauhid). Allah berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim."
(QS. Ali Imran: 102)

Beberapa hadits juga menunjukkan bahwa balasan surga itu bisa diperoleh dengan melaksanakan kewajiban mentauhidkan Allah, di antaranya:

Diriwayatkan dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, "Tidaklah seorang hamba mengucapkan: Laa ilaaha illallaah (tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah) kemudian ia mati dalam keadaan seperti itu, kecuali ia masuk surga." Aku (Abu Dzar radhiyallahu 'anhu) bertanya, "Meskipun ia berzina dan mencuri?" Beliau menjawab, "Meskipun ia berzina dan mencuri." Beliau mengulanginya tiga kali, (hingga) kemudian pada kali keempat beliau bersabda, "Meskipun Abu Dzar radhiyallahu 'anhu tidak menyukainya." Abu Dzar radhiyallahu 'anhu pun keluar dan berkata, "Kendati Abu Dzar tidak menyukainya."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu, "Tidaklah seorang hamba bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah (Laa ilaaha illallaah) dan bahwa Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya. melainkan Allah mengharamkannya atas neraka."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda: "Sesunngguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah (laa ilaaha illallaah),' dan ia mencari wajah Allah dengannya (kalimat laa ilaaha illallaah)."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Dan kalimat tauhid itu pulalah yang saya harapkan Allah anugerahkan kepada suami saya untuk bisa mengucapkannya menjelang detik-detik akhir kehidupannya, disertai kalimat istighfar yang terus saya bisikkan ke telinganya. Diawali dengan istighfar dan ditutup dengan ikrar kalimat tauhid, yang dengan keduanya saya berharap agar Allah memberikan ampunan atas segala dosa dan khilaf suami, serta menerima iman dan islamnya. Sehingga suami saya bisa meraih akhir kehidupan yang baik atau husnul khotimah.

Tak ada satu pun muslim yang tidak ingin meninggal dalam keadaan husnul khotimah, karena itulah sebaik-baik keadaan saat kita kembali ke pangkuan-Nya. Hanya dengan keadaan itulah, insya Allah kita bisa terhindar dari siksa kubur dan azab neraka, serta surga yang dijanjikan-Nya bisa diraih.


#CurhatSeorangIstri

Wednesday, May 31, 2017

Tarawih di Rumah


Alhamdulillah ... sudah masuk hari ke-5 Ramadhan. Masih terhitung permulaan, semangat puasa dan tarawih pasti masih tinggi. Namun bagaimana jika ada halangan untuk pergi tarawih ke masjid?

Kemarin pagi tetangga saya sebelah rumah ada yang meninggal. Mereka keluarga non muslim. Meski sempat bingung karena tidak tahu bagaimana tradisi menjenguk orang non muslim yang meninggal (versi mereka tentu saja), pagi itu juga sebelum mengantar anak-anak ke sekolah saya datang menemui mereka. Saya sampaikan ucapan belasungkawa kepada mereka, dan berpesan agar mereka bersabar, terutama kepada putri keluarga itu yang ditinggal pergi sang ayah untuk selamanya.

Beranjak siang, tetangga sekitar mulai berdatangan. Terop didirikan dengan kursi yang ditata menghadap ke rumah mereka. Awalnya saya kira hanya untuk tamu-tamu yang datang silih berganti itu. Ternyata malam harinya ada ritual, mungkin doa bersama untuk melepas kepergian yang meninggal.

Lalu hubungannya dengan sholat tarawih apa? Hehe, akses jalan depan rumah saya itu buntu. Dengan adanya terop yang sudah penuh kursi, hanya orang yang bisa lewat, tapi mobil tidak. Bisa saja sih mobil lewat dengan menggeser kursi, tapi ah, tidak etis rasanya merepotkan orang yang lagi kesusahan. Salah saya tidak mengeluarkan mobil terlebih dahulu dan meletakkannya di tempat yang memungkinkan saya menggunakannya setiap saat.

Alhasil, menjelang tarawih saya sampaikan pada suami untuk sholat tarawih di rumah saja. Karena tidak mungkin pergi ke masjid naik motor membawa tujuh orang. Ada sih masjid terdekat yang bisa ditempuh dengan jalan kaki, tapi tidak begitu luas. Saya tidak mungkin datang membawa bayi yang suka guling-guling dan balita yang aktif ke sana, karena akan sangat berpotensi mengganggu jamaah yang lain.

Sebagai wanita sebenarnya tidak ada kewajiban bagi saya untuk sholat di masjid. Justru sebaik-baik tempat sholat bagi wanita itu adalah tempat yang paling tersembunyi yang ada di rumahnya. Seperti disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sholat seorang wanita di rumahnya lebih utama baginya daripada sholatnya di pintu-pintu rumahnya, dan sholat seorang wanita di ruang kecil khusus untuknya lebih utama baginya daripada di bagian lain di rumahnya.” (HR. Abu Daud)

Tapi bukan berarti Islam tidak memberi ruang bagi wanita untuk sholat di masjid, apalagi di bulan Ramadhan begini. Sholat tarawih di masjid begitu dianjurkan tidak hanya bagi laki-laki, tapi juga wanita. Malah ada larangan kepada laki-laki yang berstatus suami untuk menghalangi istrinya yang ingin sholat di masjid. Sebagaimana hadits berikut:

Dari Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin kepada kalian, maka izinkanlah dia.’” (HR. Muslim)

Tapi harus diperhatikan, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh wanita sebelum pergi ke masjid. Diantaranya adalah berpakaian yang menutup aurat dengan baik dan tidak memakai harum-haruman (parfum). Wallahu a’lam...

#RamadhanKarim
#Ramadhan1438Hijriyah
#DiaryRamadhan
#RamadhanHariKelima
#CatatanBunda
#5Ramadhan1438H

Monday, May 29, 2017

(Tidak) Puasa Saat Menyusui


Alhamdulillah ... setelah gagal puasa di hari pertama, saya pun bisa puasa di hari ke-2 dengan lancar, tanpa gangguan seperti hari pertama. 

Ya, tidak semua perempuan mampu puasa saat sedang memberi ASI eksklusif. Apalagi mereka yang memang punya riwayat maag. Tanpa harus membagi asupan makanan dengan si bayi yang full ASI saja, puasa menjadi ujian tersendiri bagi penderita maag.

Sejauh ini saya merasa tidak punya maag, meski kadang terasa mual dan sebah saat perut kosong dan tidak segera diisi makanan. Anggap saja itu gejala yang muncul akibat perut lapar, hehe. Apalagi gangguan seperti itu termasuk yang tidak terlalu berarti buat saya. Namun jadi berbeda saat saya juga merasakan seolah-olah dunia berputar dan pandangan mata mengabur. Sejauh ini solusinya cuma satu, segera makan. Lalu dibantu dengan istirahat yang cukup.

Begitu yang saya rasakan di hari pertama puasa. Saya memang kurang persiapan malam harinya. Pola dan porsi makan saya masih seperti biasa. Ternyata tubuh saya tidak bisa menerima. Jadilah saya gagal puasa di hari pertama ... huaaa... .

Malam kedua, saya memberi persiapan lebih. Lebih banyak porsi makan, menjadi 1,5 hingga 2 kali lipat. Juga lebih banyak intensitasnya, dari 2 kali menjadi 3 kali, yaitu saat berbuka, setelah tarawih, dan saat sahur. Alhamdulillah ... saya pun bisa puasa dengan lancar. Oya, bisa juga dengan memberi suplemen tambahan yang bisa membantu ketersediaan ASI.

Kalau tetap (merasa) tidak kuat bagaimana? Ya tidak usah dipaksa. Islam memberi banyak kemudahan bagi umatnya yang (benar-benar) tidak mampu melaksanakan ajarannya. Misal tidak bisa sholat berdiri, sholatlah dengan duduk. Tidak kuat duduk, sholatlah dengan berbaring. Sambil berbaring juga kesulitan melakukan tata cara sholat dengan berbaring? Maka cukup dengan isyarat tanpa gerakan-gerakan. Masih tidak kuat juga? Mohon diperiksa lagi, ya, sudah butuh disholati atau belum. Haha...

Nah, kalau tidak kuat puasa bagaimana? Ya pastinya (terpaksa) berhenti puasa. Terus bagaimana dengan puasanya? Nah, ini yang perlu diperhatikan. Setidaknya ada tiga keadaan yang menyebabkan seorang ibu berhenti puasa pada saat menyusui. Karena khawatir dengan kondisi dirinya, khawatir dengan kondisi bayinya, dan khawatir dengan kondisi diri dan bayinya sekaligus.

Pandangan ulama berbeda-beda tentang hal ini. Selengkapnya bisa dicari di internet, insya Allah sudah banyak tersebar. Yang intinya secara umum adalah jika puasa yang pada hari-hari diwajibkannya tidak kita laksanakan maka kita wajib menggantinya di hari yang lain. Namun jika di tahun-tahun berikutnya tetap tidak memungkinkan untuk menggantinya, misal karena sakit menetap yang menghalanginya dari berpuasa, maka diwajibkan baginya membayar fidiah--(denda yang diberikan kepada fakir miskin berupa bahan makanan pokok atau makanan matang yang mencukupi jatah makan sekali mereka untuk tiap-tiap hari puasa yang ditinggalkannya) tanpa harus mengganti puasanya di hari yang lain. Wallahu a'lam...

Jadi kesimpulannya bagaimana? Ya, kalau tidak kuat puasa saat menyusui maka berbukalah. Nanti puasanya diganti di hari yang lain. Selain mengganti juga mau sekalian bayar fidyah? Boleh-boleh saja, hitung-hitung sebagai sedekah buat kita. Tapi kalau kuat puasa, maka berpuasa tentu lebih baik. Mengganti puasa di hari yang lain itu bukan perkara mudah. Karena berpuasa bukan di musim orang puasa tantangannya jauh lebih beraaat.


#RamadhanKarim 
#Ramadhan1438Hijriyah 
#DiaryRamadhan 
#RamadhanHariKetiga 
#CatatanBunda 
#3Ramadhan1438H 



Sunday, May 28, 2017

Pakaian Syar'i dan Adab Sehari-hari



Alhamdulillah ... ramadhan sudah memasuki hari ke-2. Lega rasanya anak ke-3 bisa menyelesaikan puasa hingga maghrib di hari pertamanya, walau sempat ada adegan mengeluh haus dan lapar luar biasa. 

Berbuka puasa pertama ramadhan tahun ini kami lakukan di luar. Kami turut serta si ayah menghadiri acara buka bersama. Sebelum maghrib kami tiba di lokasi. Semuanya turun dari kendaraan kecuali saya. Biasa, kalau bukan lagi menemani bayi yang masih nyaman bobok di mobil, berarti saya lagi ng-ASI.

Dari dalam mobil saya bisa melihat secara leluasa aktivitas peserta buka bersama semalam. Sesekali saya memperhatikan mereka, sembari memperhatikan si sholih yang mulai berlarian ke sana kemari.

Saya tertarik memperhatikan peserta yang perempuan dibanding yang laki-laki, secara khusus mereka yang dari pakaian bisa dikatakan syar’i. Ukuran syar’i yang saya gunakan standar saja. Yaitu berbusana longgar –bisa gamis, bisa pasangan atas bawah-- dan berkerudung sesuai batasan (sampai menutupi dada) atau lebih.

Kenapa saya tertarik memperhatikan mereka? Karena dari mereka saya bisa bercermin. Yang baik dari mereka saya jadikan contoh untuk berperilaku lebih baik. Nah yang buruk tentu saja sebagai pengingat diri untuk bisa lebih berhati-hati dan lebih teliti dalam melakukan tindakan apa pun. Boleh jadi saya pun akan menjadi obyek perhatian orang lain. Bukan tidak mungkin akan ada orang yang mengatakan, “kerudungnya sih lebar, tapi galak banget sama anak.” Hihihi ... maafkan kekhilafan hamba ya Allah...

Kembali kepada mereka yang berpakaian syar’i. Ada beberapa hal yang tampak secara dhohir dan perlu mendapat perhatian kita sebagai muslimah untuk belajar lebih banyak tentang adab, diantaranya:

Makan dan minum dengan tangan kiri.
Tentang hal ini sangat jelas tuntunannya, kita diperintah untuk makan dan minum dengan tangan kanan, kecuali tangan kanan sedang berhalangan tentu saja. Karena makan dan minum dengan tangan kiri adalah kebiasaan setan.

Makan sambil berdiri.
Demikian pula dengan makan sambil berdiri, ini juga dilarang. Kita diperintah untuk duduk ketika makan, kalau perlu dengan cara duduk seperti yang dicontohkan Rosulullah. Sudah ada penelitian yang membuktikan manfaat dari cara duduk Rosul ketika makan.
Kalau tentang minum, meskipun ada riwayat ada sahabat Rosul yang pernah minum sambil berdiri (mungkin karena alasan tertentu), minum sambil duduk juga sangat dianjurkan. Apalagi manfaat tentang hal ini juga sudah diteliti.

Menanggalkan alas kaki dimulai dari kaki kanan.
Saat akan melepas atau menanggalkan alas kaki –sepatu atau sandal, adab yang diajarkan dalam Islam adalah memulainya dari kiri. Sebaliknya, menggunakannya dimulai dari kanan.

Masuk mesjid dengan kaki kiri.
Islam mengajarkan kita agar mendahulukan kaki kanan setiap akan melangkah masuk menuju tempat-tempat yang baik, seperti mesjid dan rumah kita tinggal. Dan menggunakan kaki kiri saat melangkah keluar meninggalkannya.

Masuk kamar mandi dengan kaki kanan.
Kebalikan dari sebelumnya. Saat akan memasuki tempat-tempat yang di sana biasanya jadi tempat yang disenangi setan, seperti kamar mandi dan pasar, masuklah dengan kaki kiri lebih dulu. Lalu keluarlah dengan kaki kanan.

Melipat lengan baju saat hendak berwudu dari tangan kanan.
Ini juga panduan adab yang sering diabaikan. Memakai dan menanggalkan pakaian ada tuntunannya, termasuk melipat lengan baju dan celana saat akan berwudu. Melipat bagian pakaian saat berwudu, dimulai dari sebelah kiri, seperti saat kita akan menanggalkan pakaian. Lalu mengembalikan lipatannya dimulai dari kanan, seperti saat kita akan memakai baju.

Menanggalkan kerudung (penutup kepala) di tempat umum (bukan khusus wanita).
Nah, ini penting ya. Kerudung yang kita pakai untuk menutup aurat tidak bisa dilepas begitu saja, meski dengan alasan untuk berwudu. Kalau tidak ada tempat wudu yang terlindung dari pandangan laki-laki, bisa gunakan kamar mandi. Atau jika terpaksa, kerudung cukup dibuka sedikit saja.
Wudunya jadi kurang afdhal dong? Hehe, wanita dalam Islam itu spesial. Wudu kan tidak harus dengan mengguyur air ke bagian anggota wudu, mengusapnya dengan air insyaAllah sudah memenuhi kesahan wudu kita. Wallahu a’lam.

Itu beberapa hal yang kadang suka luput dari perhatian muslimah, terutama yang masih dalam tahap belajar seperti saya. Selain yang tampak secara dhohir seperti di atas, juga ada doa-doa yang sudah Rosul ajarkan pada setiap adab tersebut.

Setelah pakaian syar’i, yuk kita sempurnakan usaha kita dalam ketaatan kepada-Nya. Yaitu dengan mengikuti perintah-Nya sebagaimana dicontohkan oleh Rosul-Nya. Semoga pakaian syar’i yang kita kenakan bisa menjadi hujjah di akhirat agar terhindar dari api neraka.
Aamiiin...

#RamadhanKarim 
#Ramadhan1438Hijriyah 
#DiaryRamadhan 
#RamadhanHariKedua 
#CatatanBunda 
#2Ramadhan1438H 


Saturday, May 27, 2017

Cerita tentang Rasa Keadilan Bunda, Shaf Sholat, dan Gawai


Alhamdulillah ... sampai juga saya di bulan suci ramadhan tahun 1438 Hijriyah.

Malam pertama ramadhan, agenda pertama tentu saja sholat tarawih. Meski harus membawa dua anak gadis--yang banyakan "ribut"-nya dibanding akurnya, satu balita yang (alhamdulillah) aktif banget, plus satu bayi 5,5 bulan, dengan bismillah, saya tetap memilih tarawih di mesjid.

Kami tiba di mesjid tepat saat azan isya' berkumandang. Mesjid ramai tentu saja. Membawa bayi yang mulai suka guling-guling sesuka hati, saya memilih posisi di tepi untuk mengikuti sholat berjamaah. Drama yang menguji kesabaran seorang ibu sekaligus insan yang mencoba taat pun dimulai.

Duo gadis berebut ingin berada di dekat si bayi. Hampir saja suasana sejuk dan nyaman di dalam mesjid yang dirasakan bundanya terganggu oleh ulah mereka. Akhirnya saya putuskan adik bayi berada paling tepi, lalu berurutan di sebelahnya si sholih yang aktif, bunda, anak gadis ke-2, dan anak gadis pertama. Bersiap sholat...

Takbir penanda sholat dimulai pun terdengar. Shaf mulai merapat otomatis. Namun ada ruang kosong tanpa makmum di sebagian barisan ke-2 dan ke-3 pada shaf di depan saya. Melihat hal itu, hati mulai tidak nyaman. Apalagi ingat perintah untuk rapatkan shaf dari sang imam. Kalau saya yang mengisinya, bagaimana dengan bayi yang saya bawa? Dia bisa saja tiba-tiba menangis minta ASI di pertengahan sholat. Barisan yang berada tepat di depan saya sepertinya sudah tidak mungkin diharapkan, karena mereka sudah memulai sholatnya.

Alhamdulillah ... tiba-tiba datang beberapa rombongan jamaah wanita. Saya meminta mereka untuk mengisi shaf kosong itu dan mereka tidak keberatan. Alfatihah pun selesai dibacakan oleh imam saat saya bergabung mengikuti sholat jamaah isya' semalam. Lebih baik terlambat sedikit asal hati tenang melihat shaf di depan kita terisi penuh.

Sholat jamaah isya' berlangsung dengan khidmat. Lalu dilanjutkan dengan sholat tarawih berjamaah. Alhamdulillah, adik bayi bisa tenang sepanjang sholat meski sedang tidak dalam kondisi tertidur. Stok kesabaran bunda justru diuji dengan tingkah si sholih, tapi masih bisa diatasi dengan baik.

Selepas sholat tarawih, sebelum sholat witir, ada ceramah ramadhan. Biasanya ceramahnya cukup panjang. Duo gadis yang katanya sudah lelah sholat memaksa saya untuk memilih keluar dari barisan sholat menuju mobil. Saya kan tetap bisa ikut sholat witir sementara duo gadis menjaga adik bayinya di mobil.

Saat saya bangkit, terlihatlah pemandangan memprihatinkan. Memang tidak semua jamaah, mungkin malah tidak sampai separuh. Hanya saja pemandangan itu begitu tampak terlihat. Sebagian jamaah sedang asyik dengan gawai di tangannya.

Yaaa ... ini memang era gawai. Tapi alangkah baiknya jika gawai itu diberi istirahat beberapa waktu hingga prosesi jamaah sholat tarawih dan witir selesai. Atau jika memang terpaksa harus membuka gawai, keluarlah dulu dari barisan shaf sholat jamaah. Atau dengan cara yang lain agar majelis tarawih bisa terasa "hidup" dan khusyuk. Karena "hidup" dan khusyuknya suatu majelis tergantung bagaimana jamaahnya.

Akhirnya malam pertama ramadhan bisa saya lewati dengan mengikuti sholat tarawih berjamaah di mesjid. Ada rasa senang, bahagia, sekaligus kecewa. Tapi tetap, bismillah saja, dan segala puji bagi-Nya untuk tiap-tiap keadaan.

#RamadhanKarim
#Ramadhan1438Hijriyah
#DiaryRamadhan
#RamadhanHariPertama
#CatatanBunda 
#1Ramadhan1438H 

Friday, April 29, 2016

Dari Kecil Aku Sudah Suka Jalan-jalan (lanjutan)

Kisah sebelumnya ada di sini.

Pesona Alam Pantai Pasir Putih di Situbondo

Perjalanan berikutnya, lebih jauh dari sebelumnya. Obyek wisaya ziarah wali ditambah hingga ke daerah Jawa Tengah, yaitu ke tempat Sunan Kalijaga. Karena jarak lebih jauh, maka waktu yang dibutuhkan juga lebih lama dari perjalanan sebelumnya yang hanya dua hari dua malam. Dan pada perjalanan kali ini, giliranku dan adik yang diajak. Hehe, lagi-lagi aku deh yang dapat giliran...

Berangkat pada malam hari, suasana tampak tenang-tenang saja. Namun suasana berubah saat memasuki Jawa Tengah pada keesokan harinya. Adikku mabuk bukan kepalang. Muntah hingga berkali-kali dalam hitungan jam. Menjadi perjalanan jauh pertama membawa adik, membuat bapak sempat panik mendapati adik mabuk darat. Bapak sampai berpikir untuk pulang lebih dulu ke rumah dengan menumpang bus umum. Sungguh menjadi perjalanan tak terlupakan bagi bapak dan ibu.

Sementara aku, seperti biasa, begitu senang dan menikmati perjalanan darat menuju Jawa Tengah yang memang untuk pertama kalinya aku rasakan. Melintasi jalan licin beraspal, dan melalui daerah pegunungan, sungguh sangat mengasyikkan. Kecuali mata sudah benar-benar tidak bisa dibuka, barulah aku tertidur di atas kendaraan. Tapi begitu sampai di tujuan dan bus berhenti, bisa dipastikan aku akan bangun dan turun dari bus untuk menjelajah alam sekitar.

Tahun berikutnya, tempat ziarah yang dituju lebih jauh lagi. Target terakhir bisa sampai tempat Sunan Gunung Jati di daerah Cirebon, Jawa Barat. Pada perjalanan ketiga itu, hanya aku yang diajak. Adik sudah tidak mau lagi ikut karena trauma pada perjalanan sebelumnya. Sementara kakak juga tidak mau, meski hanya karena alasan malas pergi. Jadilah aku senang dan puas bisa melakukan perjalanan ke kota-kota yang jauh dari tempat tinggalku.

Perjalanan ke Cirebon, sepertinya menjadi perjalanan wisata terakhir kami. Karena dua tahun berikutnya bapak memilih untuk pindah madrasah di dekat rumah. Dimana tahun sebelumnya, pihak madrasah yang lama meliburkan dulu acara darmawisata. Dan di madrasah yang baru tidak ada agenda jalan-jalan. Hihi, garing...

Tapi saat itu aku yang sudah SMP, memilih untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler pramuka. Yang salah satu kegiatannya hampir tiap bulan sekali adalah kemping dan atau kemah. Lengkaplah pemenuhan hasrat kesukaanku, karena aku tidak sekadar jalan-jalan saat kemah atau kemping, tapi juga berpetualang. Entah ada berapa destinasi yang sudah aku jangkau selama di bangku SMP. Yang jelas ada kisah di setiap perjalanan yang telah aku lalui.

Memasuki bangku SMA, aku memilih sekolah di pusat kabupaten. Tiap hari aku harus mengendarai bus umum untuk bisa sampai ke sekolah. Saat ada satu bus yang tidak beroperasi, maka saat itulah aku akan menumpang bus sambil berdiri. Naik bus menjadi kegiatan rutin yang aku lakukan pada pagi dan siang/malam hari. Tapi aku tidak pernah sekali pun merasakan bosan untuk apa yang telah aku lakukan kala itu.

Untuk selanjutnya, menempuh pendidikan di Malang, membuat aku benar-benar sudah terbiasa melakukan perjalanan dengan bus. Aku pun melakukan perjalanan sendiri sedari awal mengikuti tes UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), daftar ulang setelah dinyatakan diterima, hingga menuju tempat kos.

Dan setelah menikah pun, tak terpikirkan sebelumnya aku akan pindah tempat tinggal beberapa kali. Karena memang aku suka-suka aja jalan-jalan, pindah-pindah rasanya biasa. Bahkan lebih terasa menyenangkan bisa mengetahui tempat-tempat yang sebelumnya hanya aku kenal namanya dari media.


Pamulang, 29 April 2016
*pengalamanku

#OneDayOnePost
#45

Thursday, April 28, 2016

Dari Kecil Aku Sudah Suka Jalan-jalan

Pesona Alam Pantai Pasir Putih di kabupaten Situbondo

Aku anak desa. Lahir dan besar di desa. Sanak saudara hampir semuanya di desa. Jadi kalau hari raya aku tidak perlu "repot-repot" bepergian jauh untuk menemui mereka. Saudara kandung bapak dan ibuku semuanya tinggal di kabupaten yang sama--Situbondo. Tapi aku selalu ingin bisa bepergian jauh. Sampai kadang bingung sendiri, mau kemana dan mau menemui siapa? Haha...

Sepertinya bapak dan ibuku tahu aku senang pergi-pergi. Setiap diajak pergi, aku tidak pernah menolak. Tidak dengan alasan apa pun. Kemana pun perginya, aku langsung oke. Aku juga tidak pernah rewel saat diajak pergi. Karena bisa pergi-pergi saja sudah sangat menyenangkan bagiku. Itulah kenapa bapak dan ibuku kalau mau bepergian yang terjadinya satu atau dua tahun sekali itu, senang-senang saja mengajakku.

Bapakku dulu seorang guru di sebuah madrasah. Setiap satu atau dua tahun sekali, pihak madrasah mengajak para guru berdarmawisata, alias jalan-jalan. Pertama kali pergi darmawisata, saat usiaku masih sekitar delapan tahun, tahun 1988 waktu itu. Tujuan wisata pertama kala itu adalah ziarah wali yang ada di sekitar kota Surabaya dan menyeberang sedikit ke pulau Madura.

Bapak mendaftar untuk mengikutkan empat orang yang akan berangkat, yaitu bapak, ibu, dan dua orang anak. Sebagai anak kedua, tentu saja aku masuk nominasi. Senangnya aku, seperti dapat hadiah istimewa. Kebahagiaan sangat terlihat dari wajahku sejak sebelum berangkat, begitu kata ibu. Kami mengendarai bus pariwisata yang besar. Sepanjang jalan aku benar-benar menikmatinya dengan melihat ke luar jendela. Berbeda dengan kakakku yang sepertinya terlihat biasa saja. Sepanjang perjalanan lebih banyak digunakan untuk tidur.

Sampai di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, saat itulah untuk pertama kalinya aku merasakan naik kapal feri (jembatan Suramadu belum ada waktu itu), menyeberang dari Surabaya menuju pulau Madura. Dan aku pun kembali menikmatinya. Turun dari bus dan menikmati suasana di dalam kapal. Melihat-lihat ke arah lautan biru dengan ombaknya yang tenang. Ah, aku suka sekali merasakan semua itu. Coba kalau waktu itu sudah ada sosial media, pasti aku sudah foto-foto dan membaginya di sosmed. Hihi, saking senangnya.

Perjalanan berikutnya, lebih jauh dari sebelumnya...


(bersambung)

#OneDayOnePost
#43

Monday, April 18, 2016

Saya Ingin Bisa Bahasa Arab Agar

contoh materi bahasa arab

Tahun 2008 saya mulai belajar agama dengan mengikuti majelis taklim. Semangat yang tinggi kala itu membuat saya ingin mengetahui dan melakukan banyak hal dalam kerberagamaan. Saya rajin menghadiri kajian, baik yang rutin maupun tidak, tanpa pernah absen. Waktu luang, saya gunakan untuk membaca buku-buku yang bisa menambah ilmu agama. Ajang Islamic Book Fair selalu saya gunakan untuk berburu buku-buku agama yang ingin saya miliki.

Sebagai muslim, dalam beragama tidak bisa dilepaskan dari pedoman utamanya, yaitu Al Qur'an dan Hadits. Karena itulah, satu buku yang ngebet harus saya beli adalah sepaket Buku Tafsir Ibnu Katsir. Saya memilih paket Tafsir Ibnu Katsir yang terdiri dari delapan jilid. Dengan berbagai kemudahan yang ada saat ini, saya bisa belajar ilmu tafsir dengan mudah. Tapi tetap ada yang kurang rasanya kalau saya tidak bisa mengenal dan sedikit memahami bahasa asli Al Qur'an, yaitu bahasa arab.

Saya pun mengikuti kelompok belajar bahasa arab non formal bersama ibu-ibu pengajian. Namanya belajar non formal, ya memang tidak ada kurikulum pasti yang digunakan. Waktunya pun fleksibel, namun diadakan pertemuan sepekan sekali. Selesai dibahas satu materi, pekan berikutnya terkadang harus diulang lagi. Penyebabnya adalah ada yang tidak hadir pekan lalu, jadi harus dijelaskan agar bisa paham materi. Alhasil, proggres belajar bahasa arab menjadi sangat lambat, tapi bagi yang mengikuti penyampaian ulang menjadi lebih paham.

Meski terkesan ala kadarnya, semangat saya untuk belajar dan bisa bahasa arab sangat tinggi. Menurut saya, menjadi pemeluk islam tanpa memahami (sedikit minimal) bahasa arab itu, ya kurang lengkap. Karena itu, setelah hampir tiga tahun tidak pernah belajar bahasa arab lagi, saat ini saya memutuskan untuk mengikuti program BISA, yaitu program belajar bahasa arab secara online. Target saya tentu saja agar bisa memahami bahasa arab, baik lisan maupun tulisan, dan mampu berkomunikasi dalam bahasa arab.

Tapi ada beberapa alasan kenapa saya ingin bisa berbahasa arab, diantaranya:

1. Memahami Bacaan Sholat

Satu kewajiban yang berlaku bagi setiap muslim adalah menegakkan sholat. Menjadi rukun islam yang kedua, sholat yang dilaksanakan lima kali dalam sehari semalam itu, keseluruhan bacaannya menggunakan bahasa arab itu. Bagaimana mungkin melaksanakan sebuah rukun tapi tidak memahami bacaan-bacaan yang terdapat dalam rukun itu? Mungkinkah kekhusyukan bisa diraih? Padahal lisan mengucap sesuatu, tapi tidak mengerti dan tidak memahami arti dari kata demi kata yang diucapkan.

2. Mudah Memahami Al Qur'an

Meskipun saat ini terjemah Al Qur'an bisa dengan mudah ditemukan, bisa memahami kata demi kata ayat-ayat dalam Al Qur'an itu akan memberi perasaan berbeda. Saat membaca Al Qur'an biasanya saya hanya fokus pada bacaan saja, tanpa secara khusus meresapi makna dari setiap bacaan. Berbeda jika dari awal membuka Al Qur'an terjemah saya berniat untuk mentadabburi isinya, fokus bisa lebih kepada terjemahan ayatnya.

Namun dengan mengerti dan memahami (sedikit saja) bahasa arab, saat membaca jadi bisa sekaligus mengerti apa yang dibaca. Sehingga bila bertemu dengan ayat-ayat yang berisi berita gembira, yang membaca bisa turut merasa bahagia. Dan tentu saja, jadi bisa lebih semangat untuk (kembali) beramal sholih, karena ingin menjadi bagian dari umat-umat yang mendapat kabar gembira tersebut.

3. Memudahkan dalam Menghafal Al Qur'an

Hal ini akan terasa saat menghafal surat-surat panjang dalam Al Qur'an. Dengan mengerti bahasanya, menghafal akan menjadi jauh lebih mudah. Karena saat proses menghafal, seseorang tidak hanya sekadar menghafal, tapi juga mengerti maksud dari ayat-ayat yang dihafal. Misalnya surat yang dihafal tentang kisah-kisah. Dengan mengerti arti bacaan, kan jadi bisa memahami cerita dan alur ceritanya. Sehingga bisa menghafal dengan tepat, dengan urutan yang benar, dan tidak mudah tertukar dengan ayat-ayat lain yang mirip. Dan dengan mengerti bahasa arab, setelah menghafal ayat-ayat Al Qur'an, insya Allah menjadi tidak mudah lupa.

4. Menjadi Lebih Khusyuk Berdoa

Doa-doa yang memang secara khusus dicontohkan oleh Nabi Muhammad, pastinya menggunakan bahasa arab. Meski tidak ada batasan bahasa dalam berdoa, membaca doa-doa berdasarkan petunjuk dari Nabi yang berbahasa arab itu, jelas lebih utama. Yang dibutuhkan setelah mengenal dan menghafal doa-doa tersebut adalah memahami maksud dari doa yang dipanjatkan. Doa-doa sehari-hari seperti doa mau makan, doa mau tidur, doa keluar-masuk kamar mandi, sudah lazim sekali menggunakan bahasa arab. Rasanya bagaimana ya, jika tidak mengerti maknanya.

Berbeda dengan kalau memahami maknanya. Membaca doa naik kendaraan sesaat sebelum naik kendaraan, tidak hanya membuat hati jadi tenang karena telah berdoa. Tapi juga kembali mengingatkan pembacanya akan kebesaran Robb-nya, dan menyadarkannya kembali akan kedudukan seorang hamba terhadap Robb-nya. Indah sekali bukan?

Itulah empat alasan utama kenapa saya ingin bisa berbahasa arab. Alasan lain tentu saja masih banyak. Salah satunya, bisa buat bekal kalau mau haji dan umroh. Tapi, siapa yang tidak senang bisa mengerti dan memahami bahasa penduduk langit dan penduduk surga ini. Saya pernah membaca sebuah quote, "buat apa mengerti banyak bahasa, kalau bahasa komunikasi dengan penciptanya tidak dimengerti sedikit pun."

Semoga teman-teman semua dan saya, diberikan kemudahan untuk bisa mengerti dan memahami bahasa arab, bahasanya Al Qur'an, dan bahasa penduduk surga. Amin.....


Pamulang, 18 April 2016
*semangat belajar bahasa arab

#OneDayOnePost
#36

Wednesday, April 13, 2016

Perlunya Memberi Kepercayaan Pada Anak-anak


Alhamdulillah...
Setelah sepuluh hari berlatih "Toilet Training", kini saya sudah bisa bernafas lega. Akhirnya anak keempat saya bisa melalui masa latihan dengan sukses. Masa latihan yang susah-susah gampang dan sempat diwarnai dengan beberapa kali aksi pipis di celana. Bahkan sempat juga anak saya minta untuk memakai pospak lagi.

Rentang waktu yang lama dia memakai pospak sangat mempengaruhi proses Toilet Training yang dia jalani. Di usia 3,5 tahun ini, dia sesungguhnya sudah bisa membedakan keadaan nyaman dan tidak nyaman. Tapi peralihan kondisi dari merasa nyaman dengan pospak ke kondisi tidak nyaman pipis di celana, membutuhkan waktu untuk menyesuaikannya.

Sepekan pertama masa berlatih, saya menerapkan tips-tips Toilet Training dengan sangat hati-hati. Saya menyadari, berhasil tidaknya masa itu dilalui, sangat tergantung pada rasa nyaman yang dirasakan anak. Secara umum prosesnya berjalan baik. Sesekali mengompol saya anggap biasa, karena memang saat Toilet Training adalah saat dimana dia belajar menahan untuk tidak pipis hingga dia sudah buka celana dan masuk ke kamar mandi. Jeda waktu pipis terakhir dengan pipis berikutnya juga tidak selalu sama. Tetap sabar dan terus perhatikan.

Namun pipis pertama di pagi hari, sempat membuat suasana tidak nyaman antara saya dan anak. Saya berpikir, karena sudah tidak pipis semalam suntuk, seharusnya bangun tidur di pagi hari dia sudah kebelet untuk pipis. Jadi hampir tiap pagi, begitu bangun, saya akan langsung mengajaknya ke kamar mandi. Tapi kemarin, dia menolak ajakan saya dan bilang belum ingin pipis. Saya pun memaksanya, dan dia berontak sekuat-kuatnya. Akhirnya dia benar-benar tidak pipis, lalu keluar dari kamar mandi sambil menangis. Ah, nyesel deh, pakai maksa-maksa segala...

Setelah minta maaf atas kejadian itu, saya berpesan, agar nanti kalau sudah mau pipis segera ke kamar mandi sendiri atau memberitahu saya jika butuh bantuan. Selama masa berlatih, anak saya memang belum pernah (dengan inisiatifnya) memberitahu kalau mau pipis. Biasanya saya yang aktif bertanya kepadanya, "Adek, mau pipis?" Lalu dia akan menjawabnya dengan "iya" atau "nggak". Dan pagi ini, setelah beberapa menit dia membuka mata, dia menghampiri saya dan bilang, "Bunda, aku mau pipis."

Kejadian kemarin membuat saya belajar. Saya tidak boleh memaksa kalau memang dia belum ingin pipis, di pagi hari sekali pun. Akhirnya, pagi ini dia tidak hanya berhasil menahan diri untuk tidak mengompol, tapi juga mau menyampaikan keinginannya untuk pipis--di kamar mandi.

Memang benar adanya, bahwa memberi kepercayaan kepada anak itu sangat diperlukan pada kondisi-kondisi tertentu. Salah satunya seperti kondisi yang saya alami kemarin.

Ada keadaan lain dimana saya "belajar" memberikan kepercayaan kepada anak-anak. Yaitu saat anak kedua saya--usianya 9 tahun waktu itu, minta untuk menggoreng telor sendiri untuk lauk makan sarapannya. Saya pun mengijinkannya setelah percobaan pertamanya saya awasi dengan baik, dan saya nyatakan lolos uji. Saya memberi nasihat seperlunya. Karena membiarkan anak-anak bereksplorasi di dapur pasti ada resikonya.

Akhirnya, putri saya sudah bisa menyiapkan telor ceplok atau telor dadar sendiri. Dia juga senang membantu menyiapkan telor goreng untuk adik-adiknya. Saya pun senang, karena tugas saya jadi lumayan terbantu. Sempat terjadi insiden kecil, yaitu kejatuhan wajan panas setelah menggoreng, dan meninggalkan bekas di lengan kirinya. Tapi hal itu sama sekali tidak membuatnya kapok dan berhenti melakukan aktivitas menggoreng. Justru dari kejadian itu, sepertinya dia belajar untuk lebih hati-hati.
Dan saya semakin percaya bahwa anak saya memang benar-benar bisa melakukannya, insya Allah...

"Ada saatnya orangtua akan tahu, bahwa anaknya benar-benar bisa melakukan sesuatu."


Pamulang, 13 April 2016
#belajar jadi orangtua

#OneDayOnePost
#33

Wednesday, April 6, 2016

Toilet Training Terlambat, Ini Tipsnya

Asyik bermain

Mendapati materi kuliah via whatsapp (kulwap) yang saya ikuti membahas masalah Toilet Training (TT), saya jadi bersemangat untuk memulai TT. Meski ini sudah amat sangat terlambat, tapi tetap harus dilakukan. Bukankah lebih baik terlambat daripada terus dibiarkan--ngeles ini mah, haha...

Kenapa terlambat? Iya, karena anak keempat saya sudah berusia 3,5 tahun. Anak keempat? Bagaimana dengan anak pertama, kedua dan ketiga saya? Alhamdulillah, mereka semua sukses melakukan TT di rentang usia 1 - 1,5 tahun. Ketiganya terbilang lancar, sesuai target dan harapan. Nyaris tidak ada yang pernah mengompol. Kalau pun sempat terjadi, itu bisa dihitung jari.

Terus kenapa anak keempat begitu terlambat? Alasannya banyak laaah... Namanya orang gagal atau terlambat kan biasanya punya banyak alasan? Tapi itu tidak penting. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana mengajarkan anak TT di usia tersebut.

Saya memulai TT pada anak keempat, empat hari yang lalu. Sebelumnya saya sudah pernah mencobanya. Namun saat itu dia berontak, menolak untuk tidak memakai popok sekali pakai (pospak). Padahal sudah sejak lama dia bisa jongkok dan bisa berbicara dengan baik. Yang artinya, dia seharusnya sudah bisa menyampaikan apa yang diinginkannya, termasuk keinginannya untuk buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB).

Kalau saya perhatikan, anak saya berontak karena dia sudah merasa nyaman memakai pospak. Dia merasa bebas BAK dan BAB kapan saja dan di mana saja. Namun ada kalanya dia tidak memakai pospak tanpa memberontak, yaitu saat dia mainan air. Nah, hari minggu kemarin, kebetulan saya mengajaknya berenang. Karena jarak rumah dengan kolam renang cukup dekat, setelah mandi saya langsung memakaikan dia baju untuk renang, tanpa pospak. Alhasil, dia tidak protes, kan mau renang, hehe...

Setelah puas bermain air, tiba waktunya bilas dan ganti baju. Saya sengaja kembali tidak memakaikan pospak. Dia merasa senang karena habis berenang, sehingga dia tidak protes tidak memakai pospak. Sampai di rumah, saya ingatkan dia kalau sedang tidak memakai pospak. Jadi saya minta dia untuk menyampaikan jika ingin BAK atau BAB. Tapi karena dia biasa memakai pospak, bisa dipastikan awalnya dia tidak akan memberitahu bila ingin BAK maupun BAB. Bagaimana solusinya?

Untuk langkah selanjutnya, simak tips-tips berikut ini!

Langkah pertama. 
Carilah kesempatan kapan anak merasa nyaman dan tidak terganggu tanpa pospak.

Bisa saat anak-anak akan berenang seperti kondisi anak saya di atas. Atau di saat-saat lain dimana anak sudah terbiasa melakukan kegiatan itu tanpa memakai pospak, misalnya saat bermain di luar rumah.

Langkah kedua.
Selalu perhatikan gerak gerik anak, kenali tanda-tandanya saat ingin BAK dan BAB

Perhatikan anak, nomer duakan dulu pekerjaan rumah yang lain, karena ini sangat penting untuk keberhasilan TT. Pasti ada tingkah yang bisa dikenali saat anak ingin BAK dan BAB. Meski tentu saja kita baru akan mengetahuinya setelah anak sudah terlanjur BAK di celana alias mengompol. Sabaaar... 

Langkah ketiga.
Kenali rentang waktu anak biasa BAK

Percobaan pertama gagal itu biasa. Jangan lihat gagalnya, tapi lihatlah berapa jam waktu yang dibutuhkan anak antara BAK pertama dengan BAK berikutnya. Rentang waktu itu bisa digunakan sebagai acuan untuk mempersiapkan diri menjelang BAK yang berikutnya lagi.

Langkah keempat.
Ajaklah anak ke kamar mandi pada saat yang tepat

Setelah tahu rentang waktunya, gunakan kesempatan untuk mengajak ke kamar mandi. Bisa dengan menanyakan dulu, "Adik kepingin pipis? Ayo, kita pipis ke kamar mandi?" Tapi jangan terlalu sering ya, karena pasti akan membuat dia tidak nyaman, dan bisa menggagalkan TT. Selalu perhatikan suasana anak dan kesempatan yang ada sebelum bertanya.

Langkah kelima.
Ulangi langkah kedua dan ketiga hingga anak jadi terbiasa.

Percobaan kedua masih gagal? Tetap sabar! Percayalah, untuk anak seusia itu, terkena basah oleh pipisnya sendiri sampai dua kali atau lebih, pasti akan membuat dia tidak nyaman. Pada hari pertama, dia mungkin belum mau bilang kalau mau BAK dan BAB, tapi pandangan matanya akan memberi isyarat kepada kita bahwa dia menginginkannya. Itulah kenapa, langkah kedua, selalu memperhatikan gerak gerik anak menjadi sangat penting.

Langkah keenam.
Teruslah bersabar dan tahan untuk tidak marah selama proses melakukan langkah kedua hingga langkah kelima

Modal pertama TT baik untuk anak di usia tepat untuk TT maupun yang terlambat adalah kesabaran kita sebagai orang tua. Mungkin ada yang mudah di awal-awal TT, tapi di tengah-tengah tiba-tiba anak mengompol itu hal yang biasa. Itulah resiko TT. Jadi siapkan stok sabar sebanyak mungkin, ya... Sebisa mungkin jangan memarahi anak hanya karena mengompol. Itu akan membuat program TT itu percuma. Ingat! Tujuan dari Toilet Training adalah agar anak bisa mengontrol diri dari keinginannya untuk BAK dan BAB tidak pada tempatnya--kamar mandi.

Itulah langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk bisa berhasil TT. Saya sudah mencobanya pada anak keempat saya. Dan hingga hari keempat ini, tidak ada hambatan yang terlalu berarti. Ingat untuk tetap sabar dan menahan diri untuk tidak marah.


Pamulang, 6 April 2016
#TipsToiletTraining


Friday, April 1, 2016

Aktivitasku: Hadirkan "Gemerlap" Dalam Gelap


Membuka mata kala yang lain masih terlelap dalam mimpinya, serasa menjadi keharusan ketika fokus pikiran hanya pada pekerjaan semata. Berkutat dengan hal-hal yang sama setiap harinya, bisa membuat seseorang mengalami kebosanan. Namun ada sederet alasan yang bisa menjadi sebab seseorang justru bersyukur atas keadaan "sama" yang didapatinya setiap hari. Itu pula yang coba aku hadirkan dalam penatnya raga setelah mengisi hari-hari dengan aktivitas yang sama dari masa ke masa.

Langit mungkin masih gelap. Tapi rasa bahagia bisa menatap rembulan di ujung malam, hanya bisa dirasakan saat itu. Saat langit masih gelap. Merasakan setiap tetes air yang mengguyur di pagi buta, tidak hanya bisa meluruhkan lemak-lemak tubuh yang merugikan, namun juga menjadi penyemangat untuk melanjutkan aktivitas berikutnya. Lantunan azan pembuka hari serupa senandung dawai asmara, yang sayang bila terlewat dari pendengaran. Memanjakan diri dalam sujud panjang, semoga menjadi syukur atas nikmat mata, kulit, telinga, dan hati, yang tidak pernah alfa Dia anugerahkan.

"Bangun, Nak. Sudah waktunya menunaikan kewajibanmu kepada pemilik hidup dan kehidupan." Begitu mantra yang hampir tiap pagi terucap dari bibir ini. Sebagai ucapan penuh sayang kepada generasi penerusku, sekaligus penawar kewajiban kepada pemilik mereka.

"Aaah... Sebentar lagi, Bunda," tutur kalian lirih sambil mengganti posisi tidur yang sudah nyaman. Iya, kata-kata seperti itu biasanya keluar bukan karena rasa kantuk, tapi lebih karena rasa malas yang menyerang akibat begitu kuatnya rayuan setan.

"Tidak! Bangunlah sekarang. Kamu akan kehilangan banyak kesempatan kalau mengulurnya, meski beberapa menit saja." Aku ucapkan mantra terakhir itu sembari membantu mereka bangkit dari peraduan yang semalam menemani mereka bermimpi. Dengan langkah gontai mereka akan menuju kamar mandi dan diiringi langkah kakiku di belakang mereka.

Sungguh, di saat mereka--anak-anakku, bisa segera memeluk paginya, mereka akan lebih semangat menghadapi hari. Tidak ada rasa terburu-buru yang bisa membuat kesal hati dan bisa menjadi duri yang menghambat langkah kaki. Semua akan merasa nyaman. Melalui setiap tahap rutinitas pagi dengan santai. Bahkan bisa memiliki bonus sedikit waktu untuk bersenda gurau dan saling lempar kata. Dan akhirnya, mereka bisa melanjutkan langkah dengan hati seringan awan.

Masa setelah itu adalah masa terang benderang, dimana mereka mulai merajut mimpi besar, yang telah dimulai dari langkah-langkah kecil penuh makna. Belajar hidup dari panggung kehidupan yang tak henti memberi ibrah berbeda dari hari ke hari. Sementara aku melanjutkan rutinitasku di sini, di gubuk kecil yang jadi pelindungku dan keluargaku dari panas sinar mentari dan dinginnya air hujan. Mencoba menata dan menjadikannya serupa istana, agar pancaran surga bisa terasa di dalamnya.

Kala gelap kembali menghampiri. Tiba waktunya memberikan hak pada diri untuk mengganti semua lelahnya. Mungkin suasana esok akan sama, namun pasti menjadi hari yang berbeda. Istighfar atas segala kesalahan diri terlantun lirih, sembari merapal doa-doa untuk hari esok yang lebih indah dan penuh kesyukuran. Bersama sebuah harap, semoga keberkahan menjadi menu wajib yang senantiasa Dia suguhkan untukku dan keluargaku.


Pamulang, 1 April 2016
*dibalik rutinitas pagi


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#25

Tuesday, March 29, 2016

Merenda Jalan Surga


Mentari belumlah tinggi
Saat tepat untuk pergi
Namun aku memilih berhenti
Meninggalkan seribu mimpi
Untuk mengukir satu janji
Di sini, aku akan mengabdi

...
Gerbang dunia baru terbentang di depan mata. Bayangan wajah ceria berbalut busana toga semakin nyata. Setelah sidang tertutup bersama delapan mata penuh wibawa. Akhirnya segala usaha itu akan juga berbuah tiga lembar kertas penuh makna. Bersama langkah mantap di panggung sakral bernama wisuda.

...
Iya, satu langkah akhirnya terlewati. Langkah yang sempat mendatangkan keraguan orangtuaku lantaran aku memutuskan mengakhiri masa lajang sebelum pendidikanku usai. Pernyataan bidan sebulan setelah akad terlaksana, menambah waswas orangtua bahwa aku akan kesulitan meraih gelar sarjana. Aku terlambat datang bulan, dan bidan menyatakan sudah ada janin yang menghuni rahimku. Tak bisa kugambarkan bagaimana suasana hatiku kala itu. Antara bahagia dan terbawa perasaan orangtua yang waswas dengan keadaanku.

Tepat seminggu setelah ujian akhir semester delapan, anak pertamaku lahir. Hampir semua matakuliah sudah aku selesaikan dengan nilai memadai saat itu. Namun skripsiku nyaris belum tersentuh sedikit pun. Merawat bayi seorang diri dan tinggal terpisah dengan suami, memaksaku sejenak melupakan skripsiku. Setelah jagoanku melewati tiga bulan pertamanya, aku mulai mengunjungi kampus setiap dua minggu sekali. Usaha yang berbuah manis enam bulan berikutnya.

...
"Kita ke Kalimantan, ya?" ucap suamiku dengan ekspresi penuh harap agar aku memenuhi ajakannya.
"Iya, terserah Ayah saja. Kalau memang itu baik menurut Ayah, saya akan ikut." jawabku dengan ekspresi yang sulit ditebak, antara iya atau tidak.
Jawaban dan ekspresi yang hampir selalu sama setiap aku merespon pertanyaan dan ajakan suami tentang keputusannya dalam menjalani kehidupan bersamaku. Entahlah, meski jawaban iyaku kadang tersamar, aku tidak pernah bisa menolak semua tawaran dan keputusan suamiku. Termasuk permintaannya untuk melangsungkan pernikahan sederhana, tanpa panggung, dan tanpa riasan pengantin. Aku pun memenuhinya dan mengabaikan keinginan orangtuaku yang ingin melihat putrinya tampil seperti ratu sehari kala itu.

...
Tepat setahun usia anakku, akhirnya aku, suami dan anakku berangkat ke Kalimantan. Keputusan yang aku pikir lebih baik, daripada aku ikut bekerja bersama suamiku di tempat kerja sebelumnya dan meninggalkan anakku tinggal bersama orangtuaku. Sekaligus memenuhi permintaan orangtua suamiku yang ingin agar salah satu anaknya ada yang bisa menjadi PNS, dalam hal ini sebagai guru. Kebetulan daerah transmigrasi tempat mertuaku tinggal, membuka SMA baru saat itu.

(bersambung)


#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#22

Monday, March 28, 2016

Aktivitasku: Dari Bagi Tugas hingga Menjemput Tepat Waktu


"Pulangnya jam dua, lho! Bukan jam tiga." seru pak Ucup--bukan nama sebenarnya, penjaga sekolah Zahra.
"Okeee... Kalau saya yang kebagian tugas, insya Allah beres!" ujar saya menimpali teguran pak Ucup.
"Ayahnya ada acara hari ini." sambung saya lagi.

Begitulah perbincangan singkat antara saya dan pak Ucup pagi ini. Hari pertama di pekan terakhir Maret ini, pak Ucup mengingatkan saya tentang jam pulang sekolah Zahra. Bukannya tanpa alasan, hari kamis pekan sebelumnya, Zahra baru saya jemput jam tiga sore. Padahal pulang sekolahnya jam dua. Sungguh terlalu--mengutip kata-kata bang Roma Irama, haha...

Saya memang bukan "tukang ojek" tetap anak-anak meski pagi ini saya kebagian tugas itu. Bagian mengantar ke sekolah, hampir selalu suami saya yang jadi pemeran utamanya. Alhamdulillah, suami masuk kantornya agak siang--jam 08.30 WIB, jadi ada waktu cukup banyak untuk membantu menyelesaikan tugas pagi di rumah, termasuk mengantar anak-anak ke sekolah. Apalagi jarak dari rumah ke kantor suami juga dekat, hanya butuh 10 menit perjalanan menggunakan motor.

Begitu pula saat pulang sekolah. Kalau tidak ada urusan cukup penting yang tidak bisa ditinggal di kantor, maka suami pula yang jadi tokoh utama yang berperan sebagai "tukang ojek". Dan saya adalah pemeran pembantu yang hanya hadir saat pemeran utama berhalangan, seperti pagi ini. Sebenarnya jam kantor suami sampai jam 9 malam, namun siang dan sore hari ada istirahat, totalnya selama tiga jam. Itulah kenapa dari awal pindah ke sini--Tangerang Selatan, mengantar dan menjemput anak-anak menjadi tanggung jawab suami.

Tugas saya apa dong? Ya nguplek (sibuk sendiri) di rumah, mengerjakan semua hal sesuai kadar kesanggupan waktu dan tenaga saya. Kalau pas tidak kebagian tugas ngojek, saya biasanya tidur siang selepas waktu sholat duhur. Ini hampir menjadi kebiasaan, karena memang saya jarang menjemput anak-anak. Dan ini sepadan dengan ritme istirahat saya, dimana saya selalu menjadi yang pertama kali bangun di rumah. So, saya butuh dan harus tidur siang, demi kelancaran tugas utama saya di malam harinya--alesan ini mah, hihi... Tapi kalau tidak tidur siang, kepala saya bisa nggeliyeng (seperti berputar-putar gitu) akibat ngantuk yang tak tersalurkan, haha...

Nah, terkait dengan kejadian kamis lalu, hari itu sebenarnya "hari tugas" suami. Tapi rupanya suami ada pekerjaan mendadak sehingga tidak bisa menjemput anak-anak. Dan karena suami juga tidak ada kesempatan untuk pulang, jadilah suami hanya mengirimkan pesan singkat yang isinya tentu saja meminta saya untuk menjemput anak-anak.

Pesan singkat sih masuknya sebelum jam 2. Tapi saat itu saya sedang terlelap tidur siang. Saya baru membuka mata sekitar pukul setengah tiga, dan baru memeriksa ponsel sepuluh menit kemudian. Setelah sekitar lima menit saya duduk dan menggenapkan kesadaran, saya pun bangun untuk pergi menjemput Zahra. Pukul 14.45, dan saya baru menyadari kalau sepeda motor dipakai suami ke kantor. Mau naik mobil? Aduh, jarak rumah ke sekolah Zahra tidak sampai 2 km. Tapi kalau harus jalan kaki, rasanya juga tidak sanggup, panas sekali cuaca hari itu. Walhasil, jadilah saya menjemput dengan sepeda mini Aisyah--anak kedua saya. Dan baru tiba di sekolah pada pukul 15.00, hihihi...

Kalau terjadwal dari awal bahwa suami tidak bisa menjemput, biasanya suami ke kantornya saya antar sekalian--naik motor. Sehingga motor bisa saya pakai jemput anak-anak pada siang harinya. Naik mobil jika bukan karena terpaksa--misal karena hujan deras, sangat saya hindari untuk antar jemput anak-anak. Disamping jarak yang tidak terlalu jauh, kemacetan juga justru menambah lama perjalanan dari rumah ke sekolah atau sebaliknya, dari sekolah ke rumah. Jadi, sekali jadi tukang ojek, maka saya tidak hanya ngojek-in anak-anak, tapi juga ngojek-in suami, seperti hari ini.


Pamulang, 28 Maret 2016
*back to diary

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#21

Saturday, March 26, 2016

Ketika Ajal Mengintai

Pingsan! Adakah teman-teman yang pernah pingsan? Atau malah langganan pingsan? Pertama kali saya melihat orang pingsan adalah saat upacara bendera 17 Agustus, sekitar tahun 89-an atau 90-an, saya tidak ingat pasti. Yang jelas itu adalah upacara 17 Agustus pertama yang saya ikuti di lapangan kecamatan. Kalau upacara di halaman sekolah hampir tiap hari senin selalu ada ketika saya SD. Tapi belum pernah sampai ada yang pingsan. Mungkin karena halaman sekolah saya tidak terlalu panas dibandingkan lapangan kecamatan. Ditambah lagi, upacara di sekolah biasanya dilaksanakan pagi hari, sekitar pukul 07.00 WIB. Sementara kalau di lapangan kecamatan dimulainya lebih siang, yaitu sekitar pukul 09.00 WIB.

Melihat orang pingsan pertama kalinya, cukup membuat saya kaget dan jantung berdebar-debar karena tegang. Ya, tegang dan was-was penuh tanda tanya, apa yang terjadi? Tahu kan, biasanya orang kalau pingsan tiba-tiba jatuh begitu saja, tanpa ada memberitahu. (Hihi, ya iyalah, namanya pingsan itu, tiba-tiba.) Saya suka penasaran, kenapa orang itu bisa pingsan? Waktu itu saya hanya mendapat jawaban kalau yang pingsan itu belum sarapan, makanya pas upacara--berjemur di bawah panas matahari, mereka pingsan. Itu yang pingsannya pas upacara, yang ujug-ujug pingsan padahal tidak sedang upacara bagaimana?

Saat kuliah, ada teman yang tiba-tiba pingsan karena rasa takut luar biasa. Kejadiannya pas OSPEK. Saya yang agak "mokong" waktu OSPEK sampai ditanya sama senior, "Pernah pingsan, nggak?" Saya jawab tidak lah, karena memang tidak pernah. Jangankan pingsan, takut pun tidak saya rasakan meski kakak-kakak senior menyiapkan banyak atribut yang mengundang takut peserta OSPEK pada malam inaugurasi. Malam-malam, gelap, disuruh jalan dengan mata tertutup, melewati lintasan penuh semak dan berlubang di beberapa tempat. Lalu seperti ada sesuatu yang halus, berbulu--lembut gitu, bergerak-gerak, tiba-tiba menyentuh muka. Cihaaa, yang pingsan ya ada aja ternyata, malah lebih dari seorang. Padahal atribut yang dipakai untuk atraksi terakhir itu adalah sulak, hihihi...

penjelasan wikipedia tentang pingsan

Saya juga pernah mendapati teman kuliah yang tiba-tiba pingsan karena sakit perut hebat. Baru diketahui penyebab sakit perutnya setelah di rumah sakit. Ternyata kehamilannya yang baru berjalan tiga bulan, terjadi di luar rahim. Ada juga teman kerja yang "langganan" pingsan--karena seringnya, apalagi menjelang waktu atau pada saat menstruasi.

Begitulah! Saya beberapa kali harus melihat orang pingsan dengan berbagai sebab. Dan saya selalu penasaran, bagaimana rasanya pingsan. Hingga suatu ketika saya mengalami sebuah kecelakaan. Saat itu malam hari, saya dibonceng bapak naik motor dari rumah menuju tempat pemberhentian bus. Meski belum terlalu malam, entah mengapa, saya merasakan kantuk yang luar biasa. Sampai pada titik saya benar-benar terlelap beberapa saat, lalu dikagetkan oleh hentakan yang hebat. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa. Kejadiannya begitu cepat, dan saya tidak menyadarinya.

Sebelum mata saya benar-benar terbuka, saya merasa seperti berada di ambang kematian, atau mungkin malah sudah mati. Kalimat istighfar menjadi kalimat pertama yang keluar dari mulut saya, seperti menyadari kalau saya belum punya cukup bekal untuk menghadapi mati. Saya tidak ingat pasti berapa kali kalimat istighfar terucap hingga sayup-sayup saya melihat ada beberapa orang di sekeliling saya, termasuk adik saya. Masih sambil terus beristighfar, saya pun menyadari kalau saya sedang berada dalam sebuah mobil--menuju rumah sakit. Saat tersadar, saya pun mengurangi volume suara saya yang terus mengucap istighfar. "Ya Allah, saya belum mati?" bisik hati kecil saya.

Tiba di rumah sakit kecamatan sebelah, setelah diberi pertolongan pertama untuk luka-luka yang saya alami, pihak rumah sakit menyarankan agar saya dibawa ke RSUD saja--rumah sakit kabupaten. Mereka khawatir kalau-kalau saya mengalami cidera serius di bagian kepala, karena dahi kiri saya mengalami luka dan saya merasakan pusing yang membuat saya lebih banyak menutup mata. Sepanjang jalan menuju RSUD, saya terus terbayang akan kematian. Sehingga saya pun berusaha untuk terus terjaga dan terus beristighfar. Kondisi gelap di sekitar--karena malam hari, menambah ketakutan saya.

Sampai di RSUD, setelah memeriksa kondisi saya, dokter memberi obat untuk diminum malam itu. Sesaat kemudian saya pun tertidur, dan terbangun menjelang subuh. Menyadari benar-benar sudah bangun, hati saya berbisik, "Ya Allah, saya masih hidup!" Rasa syukur mendorong saya segera bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk berwudhu. Adik saya yang menunggui, ikut terbangun dan membantu saya. Kemudian saya melaksanakan sholat subuh dengan berbaring. Beberapa hari kemudian, saya diperbolehkan pulang dan dokter menyatakan kalau saya hanya mengalami cedera kepala ringan. Alhamdulillah...

Sungguh, saya benar-benar bersyukur atas peristiwa itu. Peristiwa sesaat yang saya anggap sebagai pingsan dan untuk pertama kalinya saya rasakan, sehingga sulit untuk dilupakan. Peristiwa sesaat yang menghilangkan beberapa menit waktu saya, namun mengajarkan banyak hal kepada saya. Terutama tentang kematian yang akan selalu mengintai setiap makhluk yang bernyawa. Tentang kematian yang bisa datang kapan saja tanpa ada pemberitahuan sebelumnya. Tentang singkatnya kehidupan yang pasti akan berakhir dan berganti dengan kematian. Mengingatkan saya masih ada kehidupan abadi setelah kematian, yang keadaan saat itu ditentukan oleh bagaimana kehidupan saat ini, sebelum ajal datang.




Pamulang, 26 Maret 2016
#mengingat (kembali) akan mati adalah sebaik-baik nasihat

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#16

Tuesday, March 15, 2016

Saya Menangis Membaca Buku Ini

Saya suka membaca, membaca apa saja, dan dimana saja. Dengan membaca saya bisa mendapat informasi tentang banyak hal. Membaca itu menambah wawasan dan pengetahuan saya, sekaligus juga membuat saya jadi makin "bodoh". Karena ternyata ada banyak hal yang belum saya ketahui. Buat saya, membaca itu bukan melulu soal buku. Tapi lebih dari itu. Dan saya memperoleh banyak sekali manfaat dari membaca. 

Jaman saya SD dulu, sekitar tahun 1986-1991, saya benar-benar menjadi kutu buku. Ya, saya suka sekali membaca buku kala itu. Hampir tiap hari saya mengunjungi perpustakaan sekolah. Berbagai jenis buku yang ada di perpustakaan itu, hampir semuanya pernah saya baca.

Menginjak masa SMP, saya sudah tidak lagi menjadi kutu buku. Meski membaca buku masih jadi kebiasaan, tapi intensitasnya sudah tidak sesering waktu di SD. Saya lebih banyak aktif di ekstrakurikuler pramuka. Untuk menunjang kegiatan kepramukaan, tentu saja saya harus tetap rajin membaca. Karena untuk bisa naik tingkat saya harus lulus ujian yang sebagiannya tentang pengetahuan seputar kepanduan. Bagaimana mungkin saya bisa mengetahuinya kalau tidak dengan membaca?

Di SMA, mata pelajaran yang diberikan lebih banyak dibandingkan di SMP. Itu menuntut saya untuk membaca lebih banyak buku pelajaran agar saya tidak jauh tertinggal. Entahlah, saat itu saya merasa lemah sekali dalam memahami pelajaran yang berisi banyak teori-teori, dan yang menuntut saya harus banyak menghafal. Saya hanya menyukai matematika, karena untuk tahu hasil kali suatu bilangan, saya kan tidak perlu menghafalnya. Tapi walaupun nilai matematika saya lumayan, kalau pelajaran yang lain jeblok, kan raport-nya jadi ikutan jeblok, hihi...

Memasuki bangku kuliah, sebetulnya saya punya waktu dan kesempatan lebih banyak untuk membaca. Namun kegiatan sebagai aktivis kampus terasa lebih menyenangkan sehingga saya menjadi tidak terlalu rajin membaca. Kalau pun sekali waktu saya berkunjung ke perpustakaan, itu karena tugas kuliah yang mengharuskan saya mencari jawaban di sana. Dan kalau saya terlihat banyak membaca, sangat sedikit dari yang saya baca itu yang bukan buku diktat kuliah. Anak kuliahan kan sudah biasa kemana-mana bawa buku, haha...

Menginjak semester lima, saya menikah. Beberapa orang berpikir, menikah sebelum kuliah kelar itu akan lebih banyak menghambat kuliah. Namun siapa sangka, yang saya rasakan justru sebaliknya. Saya yang dinyatakan hamil sebulan setelah menikah, justru merasakan lebih banyak kemudahan dalam studi S-1 saya. Saya bisa memahami materi perkuliahan dengan lebih mudah. Saya juga bisa menyelesaikan soal-soal geometri jauh lebih mudah dari sebelumnya. Sampai dosen geometri yang sudah pernah mengajar saya sebelumnya, mengira saya baru pertama kalinya mengikuti mata kuliah itu.

Merasakan kemudahan sejak dinyatakan hamil, saya jadi lebih semangat membaca. Hanya saja, saya memilih bacaan-bacaan yang saya "butuhkan", yaitu bacaan seputar pengetahuan bagaimana menjadi ibu baru dan tata cara mengasuh bayi. Sebagai anak gadis yang pertama kali menikah, sedikit pun saya tidak tahu menahu bagaimana merawat dan mengasuh bayi. Dan sebagai gadis yang dikenal sedikit "tomboy" dan "pemalas", banyak orang meragukan kemampuan saya untuk menjadi seorang ibu. Jangankan menjadi ibu, menjadi istri saja, kapabilitas saya banyak yang meragukan, haha...

Jadilah sebuah buku panduan yang berisi informasi seputar kehamilan, kelahiran dan tata cara mengasuh bayi dari hari ke hari, sebagai teman saya mengisi waktu luang di sela-sela kuliah. Pilihan teman yang tepat bagi saya sebagai persiapan menanti kelahiran seorang bayi. Sekaligus menjadi hiburan bagi saya yang menjalani LDM (Long Distance Marriage) di tahun pertama pernikahan. Betul-betul buku panduan yang sarat pengetahuan, yang manfaatnya bisa saya rasakan di kemudian hari.

Setelah anak saya mulai besar, dan hadir anak-anak berikutnya, bacaan saya beralih pada buku-buku tentang pengasuhan. Saya rasakan betul, menjadi orang tua itu butuh terus dan terus belajar. Apalagi menjadi orang tua dengan banyak anak. Orang tua harus benar-benar bisa menjadi pengasuh yang multi talenta. Karena masing-masing anak pasti memiliki kekhasan yang berbeda satu sama lain. Yang itu berarti, mereka membutuhkan pendekatan berbeda dalam tata cara mengasuh dan mendidiknya.

Ketika anak-anak memasuki dunia sekolah, sekolah islam yang saya pilihkan untuk mereka memberi pengaruh besar terhadap pilihan bacaan saya selanjutnya. Saya yang biasanya membaca buku pengasuhan umum, mulai bergeser ke buku-buku pengasuhan yang islami. Diikuti dengan buku-buku motivasi yang islami. Saya seperti memasuki sebuah dunia baru. Mengenyam pendidikan dari TK hingga SMA di sekolah umum, dan kuliah di jurusan yang juga umum, "dunia islam" terasa sebagai sesuatu yang baru. 

Tidak cukup hanya membaca, saya mulai rajin mengikuti majelis taklim. Sebagai orang yang baru belajar, saya hadir di majelis ilmu laksana gelas yang kosong. Saya ingat, di tiga bulan pertama saya ikut kajian rutin seminggu sekali itu, tidak ada satu patah kata pun keluar dari mulut saya. Pernah merasakan dunia perkuliahan, membuat saya bisa menahan diri untuk tidak bertanya sebelum saya mendapatkan jawaban dari membaca ulang materi yang disampaikan, agar saya jadi lebih paham. Pada saat itulah, saya menemukan sebuah buku tebal di antara tumpukan buku-buku milik suami. Sebuah buku agama yang merupakan hadiah dari teman suami beberapa bulan sebelumnya dan belum pernah dibaca.

Buku itu berjudul "Ar-Rahiq Al-Makhtum" karangan Syaikh Shafiyurrahman al Mubarakfuri (*) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebuah buku yang menceritakan tentang perjalanan hidup Rasulullah, dari awal--jauh sebelum beliau dilahirkan, hingga detik-detik wafatnya beliau. Dilengkapi dengan sumber referensi dan rujukan yang otentik, layaknya sebuah karya ilmiah. Karena memang buku itu adalah satu dari peserta kompetisi terbuka untuk buku Sirah Nabi pada tahun 1979 yang berhasil meraih juara pertama.

Sudah menjadi kebiasaan saya saat membaca buku, selalu membacanya dari lembar pertama. Yaitu halaman judul lalu lanjut ke halaman yang nomernya masih angka romawi. Sebuah pengantar yang sangat menarik. Keingintahuan saya yang makin besar mendorong saya untuk membaca dan terus membaca. Gairah yang saya rasakan dalam membaca buku tebal itu, bagaikan seorang yang sedang kehausan lalu dihadapkan pada saya segelas air segar yang siap menyejukkan. Minum berteguk-teguk serasa tak cukup saja.

Saya membacanya lembar demi lembar tanpa ada yang terlewat. Saya tidak ingat berapa lama saya menuntaskan membaca buku itu. Yang pasti saya memilih waktu dimana saya benar-benar telah selesai dengan segala urusan rumah tangga. Karena saya tidak hanya sekadar ingin membaca buku itu, tapi juga ingin meresapi dan memahami detil semua isinya. Dan benar-benar emosi saya turut larut saat membaca buku itu. Hingga ketika saya sampai pada detik-detik menjelang wafatnya Rasulullah, tetangga saya datang untuk suatu keperluan. Saya yang membukakan pintu masih dengan sisa-sisa air mata yang tadinya deras mengalir, langsung kaget dan mengira saya sedang ada masalah. Setelah saya menjelaskan apa yang terjadi, tetangga saya pun mengerti.

Begitulah! Buku tebal itu menjadi buku religi pertama yang utuh saya baca hingga tuntas. Menjadi buku tebal terbaik dan paling berkesan yang pernah saya baca. Buku yang tidak hanya memberi saya banyak informasi tentang kehidupan Rasulullah, tapi juga membuat saya turut merasakan apa yang Rasulullah rasakan. Hingga saat saya membaca kisah tentang perang beliau, saya seakan-akan juga ikut berperang bersama beliau. Dan di detik-detik menjelang wafat beliau, seolah-olah saya juga berada di antara para sahabat yang menunggu dengan linangan air mata melepas kepergian beliau.

Buku itu telah mengantarkan saya pada semangat keislaman baru yang hingga kini terus mengalir dalam darah, mengiringi setiap desah nafas dan mewarnai hidup saat mimpi maupun terjaga. Sayang, buku itu kini tidak jelas keberadaannya. Sepertinya banyak berpindah tangan membuat buku itu tidak bisa kembali pulang. Hingga saya pun tidak bisa mengabadikannya dalam gambar--sedih...


(*) Ar-Rahiq-ul-Makhtum adalah buku Sirah Nabi Islam, Muhammad, yang ditulis dalam bahasa Arab dan Urdu oleh Syaikh Shafiyurrahman al Mubarakfuri. Versi bahasa Arab-nya dianugerahi juara pertama oleh Liga Muslim Dunia, dalam Islamic Conference on Seerah, menyusul kompetisi terbuka untuk buku Sirah Rasul Allah pada tahun 1979. Buku ini bersaing dengan 170 manuskrip lainnya, 84 dalam bahasa Arab, 64 dalam bahasa Urdu, 21 dalam bahasa Inggris satu dalam bahasa Prancis dan satu dalam bahasa Hausa. Buku ini menceritakan berbagai fase kehidupan Muhammad. Buku ini juga menyediakan rujukan otentik yang menjadikannya lebih terpercaya dan tidak terlalu kontroversial. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Sealed Nectar. 
(Sumber: Wikipedia, dengan sedikit edit tulisan yang dianggap perlu)


#OneDayOnePost
#keepwriting
#12

Friday, March 11, 2016

Alhamdulillah, Terima Kasih, Ya Allah

Hingga pukul 21.00 malam ini, saya belum posting tulisan. Keluhan PMS (Pre Menstruasi Sindrom) yang saya rasakan dua hari ini memang cukup mengganggu. Entah kenapa, keluhan rutin yang selama dua bulan terakhir sudah mulai menghilang, kini muncul kembali. Tapi saya tetap berusaha untuk menyelesaikan tulisan sebelum hari berganti. Dan harus gagal pada hari ini...

Sekitar pukul 21.00 tadi, setelah ketiga anak saya tidur, saya sudah siap di depan laptop bersama segelas jahe hangat. Ada beberapa topik yang ingin saya tulis, tapi belum ada yang tuntas hingga suami saya datang setengah jam kemudian. Setelah menyambut suami dan berbincang sebentar, sekitar setengah jam-an, saya bermaksud melanjutkan lagi untuk menulis. Baru 10 menit saya berada di depan laptop, tiba-tiba terdengar suara reruntuhan sesuatu. Tidak terlalu keras suaranya, namun cukup menyita perhatian saya.

Saya pun pergi mencari sumber suara reruntuhan itu di dapur, tapi tidak menemukan apa-apa. Lalu saya berpindah ke kamar saya dan suami, dimana anak-anak juga ikut tidur di kamar itu tadi. Dan betapa kagetnya saya melihat reruntuhan dinding yang memang mulai keropos menimpa bantal yang digunakan putri kedua saya. Lalu putri saya bagaimana?

SubhanAllah walhamdulillah, putri kedua saya yang tidurnya "munyer" (muter-muter ke sana ke mari), sudah tidak di atas bantal itu lagi. Dia sudah berada jauh di bagian tepi kasur yang jauh dari dinding. Dan ternyata, beberapa saat sebelumnya, suami sempat berpikir untuk memindah putri kedua saya ke tempat semula. Sementara itu, putri ketiga saya tidurnya berada agak jauh di sebelah kakaknya yang bantalnya tertimpa reruntuhan. Sehingga kedua putri saya tidak ada yang tertimpa langsung reruntuhan dinding yang sebagiannya cukup besar-besar itu. Hanya serpihan debu bercampur pasir halus yang sedikit menggangu kenyamanan tidur mereka.

"Ya Allah... malam ini Engkau benar-benar menunjukkan kebesaran-Mu pada kami. Sungguh, sedikit pun kami tidak ragu akan kekuasaan-Mu. Engkau telah menunjukkan pada kami, bahwa Engkaulah Sang Maha Penyelamat dari segala keburukan. Engkau telah mengingatkan kami untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang Engkau berikan. Terima kasih, ya Allah... Jagalah kami selalu dengan sebenar-benar Penjagaan-Mu. Hanya kepada Engkaulah kami titipkan jiwa dan raga kami."

#OneDayOnePost
#keepwriting
#9

Monday, March 7, 2016

Di Atas Langit Masih Ada Langit


Setelah menulis tentang getuk beberapa hari yang lalu, ada teman kuliah saya yang komentar begini, "Baru weruh tibakno getuk asline cuma singkong rebus dilembutno." Yang artinya, "ternyata (saya) baru tahu, kalau getuk itu sebetulnya cuma singkong yang dihaluskan. Haha... Saya pun membalas dengan menulis, "... aseli, lagek weruh tenan aku... hihihi... Mending telat timbang ora tahu ngerti... iya, tho... wkwkwk". Artinya, "saya benar-benar baru mengetahuinya (tidak diragukan lagi), tapi lebih baik terlambat (mengetahui) daripada tidak pernah mengetahui, iya kan..." Hehe...

Pada paragraf keempat tulisan tentang getuk, saya juga menulis secara gamblang bahwasanya saya memang baru mengetahui (asal muasal getuk). Sehingga memunculkan "keraguan" saya saat harus membedakan antara singkong rebus dengan getuk. Ya, begitulah keadaannya. Saya sengaja menulisnya secara gamblang, karena (pastinya) ada hal-hal yang orang lain (mungkin) sudah tahu, sementara (ternyata) saya belum mengetahuinya. Dan ketika saya mengetahui satu hal, maka pada saat yang sama, saya pun menyadari ada lebih dari satu hal yang belum saya ketahui. Begitu pula saat saya menguasai satu hal (dengan ijin-Nya), maka saya juga menyadari bahwa akan ada banyak hal yang belum dan (mungkin) tidak akan pernah bisa saya kuasai. 

Itulah keadaan dimana saya memandang ungkapan "di atas langit masih ada langit" sangat tepat untuk menggambarkannya. Keadaan yang bukan sekadar saya coba pahami secara teori, tapi juga pernah (bahkan sering) saya alami. Meski kadang saya "lupa" akan peribahasa itu saat menghadapi suatu keadaan, namun biasanya saya bisa segera (kembali) menyadarinya. Salah satu keadaan yang membuat saya yakin akan kebenaran ungkapan itu, pernah saya alami ketika berada di jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas). Kenapa dengan saya waktu SMA? Hmm, serius amat ya, haha...

Ini sedikit cerita tentang diri saya. Saya berasal dari satu desa di bagian barat wilayah kabupaten Situbondo. Saya menempuh SD dan SMP tidak jauh dari tempat saya tinggal (desa juga pastinya). Namun saat akan memasuki jenjang SMA saya memilih untuk melanjutkannya di (kota) kabupaten Situbondo. Yaitu SMA Negeri 1 Situbondo (SMASA), yang merupakan sekolah favorit di kabupaten Situbondo. Ada hal yang tidak akan pernah saya lupa selama menempuh pendidikan di SMASA, yaitu "prestasi" saya di kelas. Lebih tepatnya sih, ranking yang saya raih. Sebagai siswa yang nyaris selalu berada di tiga teratas di kelas selama SD dan SMP, pada catur wulan pertama kelas 1 SMA, saya berada di urutan ke-18.

Am I shock? Nggak juga... Kan dari awal saya sudah tahu kalau SMA yang saya masuki adalah sekolah favorit. Dari daftar NEM (Nilai Ebtanas Murni) SMP teman-teman yang diterima di SMASA, saya bisa mengukur kemampuan saya yang jauh di bawah mereka. Namun, dari ranking yang saya dapat itulah, saya jadi betul-betul bisa merasakan kebenaran ungkapan "di atas langit masih ada langit". Yang dari keadaan itu saya bisa belajar satu hal, bahwa tidak ada yang pantas untuk disombongkan. Namun, sebagai manusia, tentu saja kadang saya khilaf. Ada hal-hal yang saya lakukan, entah disengaja atau tidak, (mungkin) telah menunjukkan kesombongan. Astaghfirullah al adzim...

Semoga saya dan sahabat semua bisa dijauhkan dari sifat sombong, karena Allah tidak menyukainya. Sebagaimana firman-Nya dalam al Qur'an surah Luqman ayat 31, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." Sungguh, tidak ada manusia yang sempurna. Setiap yang memiliki kelebihan, pasti juga memiliki kekurangan. "Di atas langit, masih ada langit".
 
#OneDayOnePost
#keepwriting
#6

Friday, July 10, 2015

Salah Satu Keterbatasan Saya Sebagai Manusia

"Katakanlah: 'Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah', dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan."
(Q.S. An Naml: 65)

Saya lahir dan besar di Situbondo. Di rumah tempat saya tinggal dulu, ada cukup banyak pohon mangga. Dari yang pohonnya besar hingga pohon-pohon kecil hasil mencangkok. Jenisnya pun bermacam-macam, dari yang umum di pasaran, hingga jenis yang jarang ditanam orang. Mangga-mangga yang dihasilkan dari pekarangan rumah itu biasanya dibeli para tengkulak dalam jumlah besar, sehingga menjadi sumber rizki tambahan bagi orang tua saya. Namun tidak semua buah mangga yang dijual. Ada beberapa pohon kecil yang buahnya dipersiapkan khusus untuk dinikmati sendiri atau dibagikan saat ada saudara yang datang berkunjung bertepatan dengan musim mangga.

Dulu, mangga menjadi buah favorit yang paling banyak dan sering saya makan. Namun meski saya cukup menyukai rasanya, saya bisa menahan diri untuk tidak membeli, dan memilih untuk menunggu buah mangga hasil panen sendiri. Saya dan keluarga hampir tidak pernah memetik buah mangga untuk diperam, tapi kami akan menunggu hingga mangga benar-benar sudah tua atau bahkan matang di pohon. Hingga tidak jarang kami mendapati beberapa buah mangga sudah krowok dimakan codot atau burung. Kalau sudah begitu, barulah perburuan buah mangga matang pohon, dimulai. Ya, mungkin hanya dengan cara itu, selain tentu saja menghitung hari sejak mangga mulai berbuah, saya bisa mengenal bahwa mangga-mangga itu sudah siap dipetik dengan rasa yang manis atau belum.


Tapi, bagaimana dengan buah mangga yang dijual di supermarket dan pasar-pasar buah? Mampukah saya mengenali tingkat kematangan mangga-mangga itu? Jawabannya adalah TIDAK!

Sejak saya tinggal jauh dari rumah, saya sempat membeli buah mangga karena salah satu anak saya yang begitu menyukainya. Tapi kebanyakan buah yang saya pilih tidak pernah memuaskan, meski dari sisi tampilan sepertinya sudah oke. Kadang rasanya yang tidak manis atau daging buahnya yang tidak begitu merah meski rasanya cukup manis. Seperti buah manalagi yang memang punya rasa cukup manis meski sebetulnya buahnya belum terlalu tua untuk dipanen. Bertahun-tahun saya hidup dengan buah mangga dan menjadikan mangga sebagai buah yang banyak saya nikmati-karena tidak perlu membeli-ternyata tidak membuat saya mampu membedakan dan mengenali mangga yang berkualitas baik dan tidak.

Tidak hanya buah mangga, saya juga paling kesulitan mengenali buah pepaya. Meskipun kulitnya sudah berwarna kuning kemerahan, tidak jarang setelah dibuka isinya sama sekali tidak merah. Dan jelas terlihat kalau buah itu dipetik dalam keadaan masih terlalu muda, dan untuk mematangkannya tentu menggunakan proses pemeraman yang boleh jadi "karbitan". Begitu pula dengan buah-buahan yang sejenis.

Namun, disinilah saya belajar, bahwa saya hanyalah makhluk (yang diciptakan) yang tidak punya pengetahuan apa-apa, dan Allah adalah sang Kholik (yang menciptakan) yang Maha Mengetahui segala seuatu. Bagi saya, bagaimana warna dan rasa daging buah mangga dan buah pepaya merupakan sesuatu yang ghaib, yang belum saya ketahui hingga saya membukanya. Sebagaimana tercantum dalam surah an-Naml ayat 65 di atas, 'Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah'.

Hal ghaib lain yang bisa dijadikan contoh adalah kondisi janin yang ada dalam rahim. Meski saat ini sudah ada alat canggih yang bisa mengenali janin dari segi kelengkapan secara fisik dan jenis kelaminnya, tidak jarang ketika keluar "wujud"nya berbeda seperti yang diperkirakan. Hal ini dijelaskan oleh Allah melalui firman-Nya dalam surah Luqman ayat 34:
"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Ya, begitulah manusia, termasuk saya, yang sangat terbatas kemampuannya. Tidaklah manusia memiliki pengetahuan akan sesuatu melainkan hanya sedikit saja, dan itu pun terjadi hanya dengan kehendak dan ijin Allah.

Sunday, June 28, 2015

Ini Jilbab Kakakku


"Kata teman-temanku, aku pakai jilbabnya orang tua. Aku bilang, 'nggak lho... ini jilbab kakakku,'" kata putri saya (6 tahun) sepulang buka bersama di sekolahnya.

Saya tersenyum sambil memberi dua jempol dan bilang, "hebat!"

"Betapa lugunya kamu nak?" batin saya. Sepertinya dia betul-betul tidak mengerti kenapa teman-temannya berkomentar demikian terhadap jilbab besar yang dipakainya. Sehingga dia memberi jawaban jujur bahwa jilbab itu adalah milik kakaknya. Setelan gamis dan jilbab itu memang milik kakaknya, yang hanya terdiri dari dua warna, tanpa aksesoris, namun dengan model yang (menurut saya) masih tergolong anak-anak.

Bermula ketika dia masih di TK, ada hari yang temanya adalah hari abu-abu. Jadi siswa dianjurkan memakai baju warna abu-abu, sementara bagi yang tidak punya tetap memakai seragam sesuai hari tersebut. Putri saya kebetulan juga tidak punya, tapi kakaknya punya baju warna abu-abu. Setelah saya coba pakaikan baju kakaknya, ternyata hanya kepanjangan sedikit saja. Untuk menyenangkan putri saya dengan warna baju sesuai tema hari itu, saya menjahit satu bagian dari baju tersebut sehingga cukup untuk dia pakai.

Setelah baju itu dipakai, saya tidak langsung melepas jahitannya. Hingga tiba waktunya putri saya buka bersama di sekolah barunya yang tidak lagi di TK, melainkan sudah SD kelas satu. Dan saya memilihkan baju itu untuk dia pakai ke sekolah. Putri saya tidak menolak, karena memang dia suka meniru gaya berpakaian saya, termasuk memakai jilbab (sedikit) besar. Bahkan ketika saya memakai jilbab segi empat, dia ingin memakainya juga. Saya pun membuatkannya jilbab instan yang ketika dipakai seperti jilbab segi empat. Awalnya dia protes, karena maunya persis seperti saya, yang memakainya harus menggunakan peniti. Dengan sedikit penjelasan saya, bahwa peniti itu bisa berbahaya, barulah dia mau memakainya.

Berbeda dengan kakaknya yang sekarang sudah kelas lima SD. Meski keduanya sama-sama saya biasakan untuk memakai jilbab saat keluar rumah, namun kadang-kadang kakaknya menolak memakai jilbab besar. Saya tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi batasan melewati dada tetap tidak boleh dilanggar. Dan saat ramadan seperti sekarang ini, kakaknya justru lebih sering memilih jilbab besar. Karena dengan jilbab itu, dia tidak perlu lagi membawa mukenah untuk dipakai sholat. (Hmm, dia mulai berpikir tentang ke-praktisan rupanya.)

Tentang jilbab, tidak bisa dipungkiri, bahwa sebelum wanita berjilbab sebanyak sekarang, dulu jilbab atau kerudung itu memang identik dengan orang tua atau mereka yang sudah bergelar hajjah. Dan khusus jilbab besar, masih banyak orang islam sendiri yang menganggap bahwa itu hanyalah gaya berjilbab wanita muslimah dari golongan atau aliran tertentu saja, bukan dipandang sebagai gaya berpakaian muslimah yang umum, apalagi muslimah Indonesia. Tidak sedikit pula yang menyudutkan muslimah yang berjilbab besar. Padahal, jilbab besar mereka sama sekali tidak mengganggu dan merugikan pihak lain.

Kembali pada kejadian yang dialami putri saya dengan jilbab besarnya, bagaimana komentar tentang jilbab itu bisa muncul dari teman-temannya yang usianya masih berkisar 6-7 tahun itu? Melihat gaya dan model anak-anak itu berpakaian muslimah, terutama bentuk dan ukuran jilbabnya, ini yang bisa saya simpulkan:
  1. Mungkin mereka pernah melihat bahwa yang memakai gaya berjilbab seperti itu hanyalah orang-orang tua saja, sementara anak kecil tidak. 
  2. Atau mungkin orang tua mereka gaya berjilbabnya seperti itu, tapi mereka dipakaikan jilbab dengan gaya yang berbeda dengan orang tuanya, sehingga mereka menganggap bahwa gaya berjilbab seperti itu hanya untuk orang yang sudah tua saja.
  3. Atau mungkin juga karena memang warna dan modelnya bagi mereka mungkin dianggap "tidak menarik" dan hanya cocok dipakai oleh orang tua.
Tapi apapun alasannya, yang terpenting bagi saya adalah bagaimana putri saya menanggapi komentar teman-temannya. Saya merasa lega dengan jawaban putri saya. Yang berati bahwa putri saya tidak merasa minder dengan jilbab yang dipakainya. Dan ketertarikannya untuk tetap meniru penampilan saya, semoga menjadi modal pe-de bagi dia saat memakai busana muslimahnya, sebelum dia benar-benar bisa memahami bagaimana berbusana muslimah yang syar'i.